Perubahan Nama Gedung Negara Cirebon Jadi Bale Jaya Dewata: Budayawan Kritik Tanpa Musyawarah, Dedi Mulyadi Sebut Gedung Kumuh Kini Dirawat

681b3bdb25d93
8 / 100

Cirebon — Seputar Jagat News. Perubahan nama Gedung Negara atau yang sebelumnya dikenal dengan Gedung Karesidenan Cirebon menjadi Bale Jaya Dewata yang kini difungsikan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat menuai kritik dari berbagai pihak, khususnya kalangan budayawan dan pegiat sejarah Cirebon. Banyak yang merasa bahwa perubahan ini dilakukan tanpa pelibatan masyarakat atau tokoh kebudayaan setempat dalam proses pengambilan keputusan.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjelaskan bahwa penamaan “Jaya Dewata” tidak dilakukan sembarangan. Nama tersebut diambil dari salah satu julukan dari Prabu Siliwangi, yang dihormati sebagai leluhur masyarakat Cirebon. Menurut Dedi, Siliwangi adalah sosok yang memiliki kedudukan penting dalam sejarah Cirebon.

“Jaya Dewata itu kan nama dari Prabu Siliwangi. Nah, Siliwangi itu kan nama leluhurnya Cirebon,” ujar Dedi Mulyadi saat diwawancarai di kantor Gubernur Bale Jaya Dewata, Rabu (7/5/2025).

Namun, keputusan ini tidak diterima dengan baik oleh sejumlah budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon. Mereka menilai bahwa perubahan nama gedung bersejarah ini dilakukan tanpa konsultasi atau musyawarah dengan pihak-pihak terkait yang memahami nilai sejarah lokal.

Salah satu pemerhati budaya, Jajat Sudrajat, mengungkapkan keheranannya saat mengetahui nama gedung diubah tanpa adanya diskusi atau pemberitahuan kepada masyarakat atau tokoh budaya setempat.

“Loh saya kaget, ini penamaan ini dasarnya apa? Kok tidak ada satu pun orang Cirebon yang diajak bicara?” kata Jajat, Kamis (24/4/2025).

Jajat juga mempertanyakan relevansi nama “Jaya Dewata” dengan sejarah lokal Cirebon, mengingat Prabu Siliwangi sendiri tidak pernah tercatat menginjakkan kaki di Cirebon. Jajat menyarankan agar nama tokoh lokal seperti Panembahan Losari atau Pangeran Sucimanah lebih tepat untuk diangkat sebagai nama gedung tersebut.

“Catat, bukan alih fungsinya, tapi penamaannya,” tegas Jajat, menambahkan bahwa penamaan tersebut seharusnya melalui musyawarah dengan para pemangku kebudayaan agar lebih representatif dengan sejarah lokal.

Tokoh budaya lainnya, Chaidir Susilaningrat, juga mengkritik langkah Gubernur Dedi Mulyadi dalam penamaan gedung bersejarah ini. Menurut Chaidir, penamaan gedung semestinya dilakukan melalui musyawarah dengan semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan kebudayaan dan sejarah setempat.

“Penamaan gedung bersejarah semestinya dimusyawarahkan dengan semua stakeholder kebudayaan,” kata Chaidir, yang menilai bahwa gedung tersebut memiliki nilai sejarah yang sangat penting, mengingat gedung tersebut dibangun sejak tahun 1808 dan pernah menjadi markas pasukan Belanda.

Sebagai respons terhadap polemik ini, para budayawan berencana menggelar dialog terbuka. Mereka berharap dialog ini dapat memberikan ruang untuk mendiskusikan dasar dan tujuan perubahan nama ini serta menyamakan persepsi di antara pihak-pihak yang terlibat.

“Langkah kami adalah mengajak duduk bareng teman-teman hari Minggu nanti. Kita akan satukan visi, kalau menerima dasarnya apa, kalau menolak dasarnya apa. Tapi yang kami pertanyakan, ini konsep penamaannya dari siapa?” ujar Jajat.

Perubahan nama ini merupakan bagian dari kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi untuk mendekatkan layanan pemerintahan kepada masyarakat. Dalam kebijakan ini, Gubernur Dedi juga membentuk lima kantor gubernur di berbagai wilayah Jawa Barat, masing-masing dengan nama yang mencerminkan sejarah dan budaya daerah setempat. Sebelumnya, ia telah mengganti nama beberapa gedung menjadi Bale Pakuan Padjadjaran di Bogor, Bale Sri Baduga di Purwakarta, dan Bale Dewa Niskala di Garut.

Dedi menegaskan bahwa esensi dari perubahan nama ini adalah untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, meskipun ia tidak menampik adanya kritik terhadap keputusan ini.

“Mari kita sama-sama kritis terhadap setiap hal, tapi kritiknya harus objektif. Jangan mengkritisi hal yang sebenarnya baik tapi diributin,” ujar Dedi, merespons sejumlah kritik yang dilontarkan.

Kendati demikian, Gubernur Dedi berharap masyarakat dapat melihat niat baik yang ada di balik kebijakan ini. Ia tetap menerima kritik sebagai bentuk kontrol publik yang penting dalam menjaga kualitas kebijakan pemerintah. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *