JAKARTA — Seputar Jagat News. Dunia peradilan kembali diguncang skandal korupsi internal. Azam Akhmad Akhsya, jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, resmi duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025). Ia didakwa menilap dana pengembalian milik korban investasi bodong Fahrenheit senilai Rp 11,7 miliar.
Jaksa penuntut umum (JPU) mengungkap bahwa Azam menyalahgunakan wewenangnya dalam penanganan perkara robot trading Fahrenheit, dengan memeras dan mengondisikan pengacara korban untuk menyerahkan uang yang berasal dari barang bukti. Ia bahkan disebut berkongsi dengan para pengacara untuk memanipulasi proses pengembalian dana kepada para korban.
Uang miliaran rupiah itu, menurut jaksa, ditransfer melalui rekening atas nama Andi Rianto di BNI Cabang Dukuh Bawah, yang menjadi jalur penerimaan dana haram oleh Azam. Dana tersebut diperoleh dari tiga pengacara: Bonifasius Gunung, Oktavianus Setiawan, dan Brian Erik First Anggitya.
“Jumlah seluruhnya sekitar Rp 11.700.000.000,” ungkap jaksa di hadapan majelis hakim.
Dalam perkara investasi bodong Fahrenheit, terdapat 30 barang bukti dalam bentuk uang dengan berbagai mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, baht Thailand, dan rupiah, dengan total mencapai puluhan miliar rupiah.
Tiga pengacara yang berperan dalam perkara ini memiliki klien dari berbagai kelompok korban. Berikut perinciannya:
- Bonifasius Gunung mewakili 68 korban dengan nilai kerugian Rp 39,35 miliar. Ia dijanjikan fee 50 persen jika berhasil memulihkan dana korban.
- Oktavianus Setiawan mengklaim mewakili 761 korban dalam kelompok Solidaritas Investor Fahrenheit, dengan total kerugian Rp 261,83 miliar, dan juga mengincar fee 50 persen.
- Brian Erik First Anggitya menangani 60 korban asal Jawa Timur dengan kerugian Rp 8,36 miliar.
Namun, jaksa menyebut bahwa Oktavianus secara ilegal juga mengklaim mewakili 137 korban dari Paguyuban Bali, dengan nilai kerugian mencapai Rp 80 miliar.
Dalam manipulasi yang terstruktur itu, Azam mendesak Bonifasius menaikkan nominal barang bukti dari Rp 39,35 miliar menjadi Rp 49,35 miliar—memberi “kelebihan” Rp 10 miliar, dari mana Azam meminta bagian Rp 3 miliar.
“Bonifasius Gunung terpaksa memberikan bagian kepada terdakwa karena khawatir korban tidak akan mendapatkan pengembalian dana,” ujar jaksa.
Hal serupa terjadi pada Oktavianus, yang menyetujui rekayasa nilai pengembalian sebesar Rp 17,8 miliar dari kelompok Bali. Dari situ, Azam meminta Rp 8,5 miliar.
Kepada Brian, Azam meminta “fee” 15 persen dari dana korban yang dipulihkan. Setelah negosiasi, Brian menyerahkan Rp 200 juta.
Kasus ini berawal dari vonis terhadap Hendry, pelaku utama penipuan Fahrenheit. Ia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 3 miliar di tingkat pertama, lalu diperberat menjadi 10 tahun di tingkat banding dan inkracht di Mahkamah Agung (MA).
Majelis hakim memerintahkan agar 34 barang bukti uang dikembalikan kepada 1.449 korban melalui paguyuban masing-masing. Dalam pelaksanaan eksekusi inilah, Azam diduga menyalahgunakan posisi dan kekuasaan dengan menekan para pengacara agar menyerahkan sebagian dari uang yang seharusnya dikembalikan kepada korban.
Gunung akhirnya menyerahkan Rp 3 miliar, Oktavianus Rp 8,5 miliar, dan Brian Rp 200 juta.
Atas perbuatannya, Azam Akhmad Akhsya didakwa dengan pasal berlapis dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:
- Pasal 12 huruf e (pemerasan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara),
- Pasal 12B ayat (1) (gratifikasi),
- Pasal 5 ayat (2) (penerimaan suap), dan
- Pasal 11 (penerimaan hadiah).
Jika terbukti bersalah, Azam dapat dijatuhi hukuman maksimal seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun serta denda hingga Rp 1 miliar. (Red)