Bukan UU ITE, Ini Alasan Kejagung Jerat Bos Buzzer Adhiya Muzakki dengan Pasal Perintangan

681c176f1096c
8 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. 10 Mei 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan alasan hukum di balik penetapan tersangka M. Adhiya Muzakki (MAM)—yang berperan sebagai pengendali buzzer—menggunakan Pasal Perintangan Penyidikan, bukan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Keputusan ini didasarkan pada peran aktif Adhiya sejak awal dalam skema pemufakatan jahat untuk mengganggu proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejagung.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa konstruksi hukum tidak bisa dilihat secara terpisah, melainkan harus menyeluruh. Ia menyatakan bahwa tindakan Adhiya lebih tepat dijerat menggunakan Pasal 55 KUHP tentang turut serta, dan Pasal 21 UU Tipikor tentang perintangan penyidikan.

“Ini tidak bisa hanya dilihat sepotong-sepotong tetapi harus dilihat dari sisi unsur bersama-sama. Pasal 55 dan Pasal 21 menyebutkan bahwa bermufakat jahat untuk melakukan perintangan terhadap proses penanganan perkara,” kata Harli kepada wartawan di Lobi Gedung Penkum Kejagung, Jakarta, Jumat (9/5/2025).

Menurut Harli, Adhiya sudah mengetahui sejak awal rencana tiga tersangka lain—Marcella Santoso (MS), Junaedi Saibih (JS), dan Tian Bahtiar (TB)—yang berniat menyebarkan narasi negatif terhadap Kejagung. Rencana tersebut bertujuan mengganggu proses hukum dengan menciptakan opini publik yang menyesatkan.

“M. Adhiya Muzakki sebenarnya sejak awal sudah berkolaborasi, bermufakat dengan Marcella Santoso, dengan Junaedi Saibih,” ungkap Harli.

Setelah terjadi kesepakatan di antara mereka, Adhiya pun merekrut 150 orang buzzer untuk menyebarkan narasi negatif terhadap Kejagung dan penyidiknya, serta narasi positif tentang kinerja para pengacara yang terlibat dalam perkara. Dari aktivitas ini, Adhiya diketahui menerima Rp 864.500.000 dari Marcella Santoso.

Masing-masing buzzer diberi honor Rp 1,5 juta, namun hingga saat ini, para buzzer tersebut belum dijadikan tersangka.

Meski para buzzer ikut menyebarkan konten negatif, Harli menyebut bahwa penyidik masih mendalami sejauh mana mereka mengetahui konteks narasi tersebut. Kemungkinan besar, mereka hanya bertugas menyebarkan konten tanpa mengetahui bahwa mereka sedang digunakan sebagai bagian dari skema penghalangan penyidikan.

“Dia (buzzer) kan belum tentu mengetahui ini apakah ini merupakan konspirasi atau bukan atau hanya bentuk berita yang bisa dipublikasi walaupun tanda petik negatif,” jelas Harli.

Dalam perkara ini, Kejagung telah menetapkan empat tersangka:

  1. Marcella Santoso (MS) – Advokat
  2. Junaedi Saibih (JS) – Advokat
  3. Tian Bahtiar (TB) – Direktur Pemberitaan JAK TV (nonaktif)
  4. M. Adhiya Muzakki (MAM) – Koordinator tim cyber army

Selain Adhiya, Tian Bahtiar juga menerima dana sebesar Rp 478,5 juta dari dua advokat tersebut. Dana ini digunakan untuk membangun dan menyebarluaskan konten negatif, yang diduga kuat dirancang untuk menghalangi penanganan perkara hukum oleh Kejagung.

Kejagung saat ini masih fokus mengusut lebih dalam peran masing-masing tersangka dan menelusuri aliran dana dalam skema pemufakatan ini. Penyidik juga masih membuka kemungkinan keterlibatan pihak lain.

Kasus ini menjadi salah satu bentuk gangguan serius terhadap proses hukum melalui manipulasi opini publik di ruang digital, dengan melibatkan infrastruktur buzzer secara sistematis. Penanganan perkara ini diharapkan menjadi preseden tegas terhadap praktik serupa di masa depan. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *