Jakarta – Seputar Jagat News. Perubahan penting terjadi dalam regulasi terbaru Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 19 Tahun 2003. Salah satu poin krusial dalam beleid ini adalah status hukum anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN yang tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Menanggapi hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyatakan akan melakukan kajian mendalam mengenai dampak regulasi baru ini terhadap aspek penegakan hukum, khususnya dalam konteks tindak pidana di lingkungan BUMN.
“Jadi begini, terkait dengan keberadaan Undang-Undang BUMN yang baru, tentu kami terus melakukan pengkajian, pendalaman terhadap apakah kewenangan dari kita dari kejaksaan masih diatur dalam Undang-Undang BUMN,” ujar Harli Siregar, pejabat Kejaksaan Agung, kepada wartawan di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (5/5/2025).
Meskipun status direksi dan komisaris berubah secara legal, Kejaksaan menegaskan bahwa penegakan hukum tetap bisa dilakukan jika terdapat unsur tindak pidana fraud dalam kegiatan yang melibatkan BUMN, terutama jika ada aliran dana negara yang disalahgunakan.
Menurut Harli, jika dalam kegiatan korporasi BUMN ditemukan tindakan seperti persekongkolan, permufakatan jahat, hingga tipu muslihat, maka hal itu bisa tetap diproses dalam ranah tindak pidana korupsi.
“Menurut kita, sepanjang ada fraud misalnya, katakan ada persekongkolan, permufakatan jahat, tipu muslihat, dan katakan BUMN mendapat aliran dana dari negara, saya kira itu masih memenuhi unsur-unsur daripada tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Harli menegaskan bahwa dalam konteks ini, penyelidikan awal sangat penting untuk menilai apakah tindakan yang terjadi dalam tubuh BUMN bisa masuk dalam ranah hukum. Penyelidikan akan mengidentifikasi apakah ada aliran dana negara dan apakah tindakan yang dilakukan mengandung unsur fraud yang merugikan negara atau publik.
“Dan saya kira itu menjadi pintu masuk dari APH (Aparat Penegak Hukum) untuk melakukan penelitian lebih jauh,” tambah Harli.
Aturan ini ditegaskan dalam Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, yang berbunyi:
“Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”
Perubahan ini tentu menimbulkan berbagai konsekuensi hukum, khususnya dalam proses investigasi, pengawasan, dan pencegahan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan kewenangan di lingkungan BUMN. Oleh karena itu, Kejagung menekankan pentingnya penyesuaian dan evaluasi menyeluruh dalam kerangka penegakan hukum ke depan. (Red)