Bandung — Seputar Jagat News. Program pendidikan karakter yang diinisiasi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tengah menjadi sorotan tajam dari DPRD Jawa Barat. Pasalnya, program tersebut menelan anggaran sebesar Rp6 miliar dari APBD 2025, namun diklaim tidak melibatkan DPRD dalam proses perencanaannya.
Program ini merupakan bagian dari pembangunan pendidikan menuju “Gapura Panca Waluya”, dengan fokus pada pembinaan 2.000 peserta didik yang terindikasi melakukan pelanggaran norma sekolah. Pelatihan diberikan bekerja sama dengan unsur TNI dan Polri, melalui pendidikan karakter yang mencakup integritas, disiplin, dan wawasan bela negara.
Setiap sesi melibatkan 40 siswa dari 5 wilayah, yang digembleng selama 10 hari di barak militer TNI, dan program dijadwalkan berlangsung selama 10 bulan. Saat ini, program sudah mulai berjalan, dan setidaknya 210 siswa SMA/SMK di Jawa Barat telah menjalani pelatihan di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Namun, program yang disebut ambisius ini justru menuai kritik karena dianggap tidak melibatkan DPRD Jawa Barat dalam perumusan dan penyusunan anggaran. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Jabar, Ono Surono, yang mengaku pihak legislatif tidak diajak berdiskusi oleh Gubernur Dedi sejak awal perencanaan.
“Penjabaran APBD, KDM (Kang Dedi Mulyadi) kan tidak pernah melibatkan DPRD, jadi kita tidak tahu karena tidak pernah dibahas oleh DPRD,” ujar Ono saat dihubungi, Selasa (6/5/2025).
“Saya yakin ke depan akan ada proses pendalaman terhadap anggaran Rp6 miliar itu.”
Ono menegaskan bahwa DPRD memiliki kewenangan konstitusional dalam setiap kebijakan daerah yang bersumber dari APBD, dan sudah sewajarnya setiap program strategis didiskusikan secara transparan bersama legislatif.
“Gaduhnya ini justru karena kami tidak pernah diajak bicara, padahal kami adalah bagian dari pemerintahan daerah yang punya hak dalam perencanaan hingga penetapan program,” tambahnya.
Selain aspek anggaran, Ono juga mengkritisi konsep program yang langsung membawa siswa ke barak militer sebagai bentuk pembinaan. Menurutnya, Pemprov Jabar semestinya mengedepankan pendekatan preventif terlebih dahulu sebelum melakukan langkah penegakan seperti pelatihan di lingkungan militer.
Ia menyarankan agar pemerintah daerah menggandeng aparat penegak hukum untuk aktif hadir di sekolah dan melakukan pembinaan secara rutin. Menurutnya, pendekatan seperti ini jauh lebih efektif dibanding langsung mengirim siswa ke barak militer.
“Kalau pendidikan karakter di barak militer itu bentuk penegakan, ya seharusnya tindakan preventif dulu di sekolah. Saya yakin itu lebih efektif,” katanya.
Ono juga menyoroti salah satu indikator siswa “nakal” dalam Surat Edaran Nomor: 43/PK.03.04/KESRA, di mana disebutkan bahwa siswa yang sering bermain game termasuk dalam kategori yang perlu dikirim ke pelatihan karakter.
“Harus ada tahapan pembinaan. Kalau masih bandel, baru ke panti rehab, dan kalau masih tidak berubah baru mungkin ke barak. Tapi masa pemain Mobile Legends langsung dimasukkan ke barak? Itu tidak tepat menurut saya,” tutup Ono.
Program ini, yang awalnya bertujuan mencetak generasi muda yang lebih berkarakter dan disiplin, kini justru membuka ruang perdebatan mengenai efektivitas metode yang digunakan, transparansi anggaran, dan koordinasi antarlembaga.
DPRD Jawa Barat dipastikan akan segera melakukan pendalaman anggaran dan mengevaluasi pelaksanaan program tersebut, guna memastikan bahwa dana publik benar-benar digunakan secara tepat sasaran, dan pendekatan pembinaan pada remaja dilakukan secara proporsional serta humanis. (Red)