Kisah Kombes Eko Suroso, Perwira Polisi yang Tolak Suap dan Hidup Sederhana: “Saya Lebih Nikmati Hidup Sesuai Aturan”

Screenshot 2025 05 08 075151
10 / 100

Jakarta — Seputar Jagat News. Di tengah berbagai sorotan terhadap integritas dalam proses rekrutmen anggota Polri, sosok Kombes Pol Eko Suroso muncul sebagai teladan yang langka. Mantan Kabag Perawatan Personel (Watpers) Biro SDM Polda Sulawesi Selatan ini dikenal tegas menolak segala bentuk suap selama bertugas mengelola proses seleksi anggota Polri. Baginya, integritas bukan sekadar slogan, tapi prinsip hidup yang dijalani secara nyata—bahkan dalam tekanan sekalipun.

Salah satu pengalaman paling ekstrem yang dialami Kombes Eko terjadi ketika seorang pihak mencoba menyuapnya secara terang-terangan. Dengan percaya diri, orang tersebut menunjukkan buku rekening tabungan yang penuh, berharap agar anaknya dibantu lolos seleksi masuk kepolisian. Namun, Eko menolaknya tanpa ragu.

“Saya bilangin, ‘Yang menentukan anakmu lulus atau tidak itu kemampuan anakmu sendiri’. Banyak yang gagal karena tidak ada persiapan, hanya mengandalkan pertemanan atau cari beking,” ungkap Eko dalam wawancara program Hoegeng Corner 2024, Kamis (3/10/2024).

Kini menjabat sebagai Kabid Propam Polda Sulawesi Barat sejak Maret 2025, Kombes Eko tetap memegang teguh prinsip tersebut dalam setiap langkahnya. Selama bertugas sebagai Kabag Watpers di Polda Sulsel, ia berada di posisi strategis dalam proses seleksi Polri—sebuah jabatan yang kerap disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab. Namun, alih-alih memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, Eko memilih menjadikan posisi itu sebagai media edukasi soal pentingnya proses dan persiapan.

“Saya lihat ini sebagai kesempatan untuk mengedukasi mereka bahwa tidak ada jalan pintas. Jangan menghalalkan segala cara,” tegasnya.

Eko menekankan bahwa untuk lolos seleksi Polri, kuncinya adalah persiapan dan kompetensi, bukan koneksi atau uang suap. Ia menyarankan orang tua untuk menggunakan dana mereka untuk bimbingan belajar (bimbel), bukan untuk menyuap atau menyewa calo.

“Mustahil masuk sekolah kedinasan tanpa persiapan. Saya sarankan ikut bimbel. Tapi saya tidak mengarahkan bimbel tertentu, silakan pilih sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa sistem seleksi di institusi Polri saat ini sudah semakin transparan dan sulit dimanipulasi, berkat penerapan teknologi Computer Assisted Test (CAT) dalam ujian psikologi dan akademik. Sistem ini, katanya, merupakan bagian dari prinsip BETAH: Bersih, Transparan, Akuntabel, dan Humanis yang kini menjadi pedoman utama dalam rekrutmen Polri.

“Untungnya sekarang kita dilindungi oleh sistem. Jadi tidak ada peluang untuk menyimpang, walaupun ada tekanan dari luar,” kata Eko.

Bagi Kombes Eko, integritas bukanlah hal yang muluk-muluk. Ia mendefinisikannya sebagai “bertindak sesuai aturan tanpa merasa terpaksa”. Ia percaya, seorang pimpinan harus menjadi panutan, bukan sekadar pemegang jabatan.

“Saya lebih cenderung menikmati hidup sesuai dengan rules. Kerjakan saja apa yang harus dikerjakan,” ucapnya lugas.

Tak hanya dalam tugas, kehidupan pribadi Kombes Eko juga mencerminkan kesederhanaan. Ayah dua anak ini tinggal bersama mertuanya di dekat asrama Brimob sejak menikah pada 2008. Mendiang mertua laki-lakinya adalah pensiunan anggota Brimob, sehingga kedekatan dengan institusi Polri bukan hal baru dalam keluarganya.

Meski begitu, Eko sebenarnya memiliki rumah pribadi tipe 45 di kawasan Dayak, Makassar. Rumah tersebut ia beli saat berpangkat Inspektur Satu (Iptu) dan baru lunas ketika ia menyandang pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP). Namun karena lebih memilih tinggal bersama mertua, rumah itu kini kosong dan agak rusak karena tak dihuni.

“Dulu saya cicil rumah itu Rp 1,3 juta per bulan. Harganya waktu itu sekitar Rp 100 jutaan,” kenangnya.

Kombes Eko adalah putra asli Lasem, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Sang ayah dulunya adalah seorang kenek bus jurusan Lasem–Semarang, dan ibunya hanya ibu rumah tangga. Di masa tuanya, sang ayah beralih profesi menjadi pedagang kelontong setelah diberi modal oleh kakek Eko.

Kisah perjuangannya menembus Akademi Kepolisian (Akabri) tak lepas dari diskriminasi karena latar belakang keluarganya. Eko mengenang salah satu hinaan yang ia terima saat itu:

“Rumah orang tua saya itu dari bambu, anyaman, berlubang. Saya pernah dihina, ‘Rumah kayak gitu buat bakar terasi aja nggak matang’,” ujarnya.

Namun hinaan itu tak mematahkan semangatnya. Justru menjadi bahan bakar untuk membuktikan bahwa latar belakang bukan halangan untuk sukses—dan bahwa integritas adalah nilai yang bisa dijaga, tak peduli dari mana seseorang berasal. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *