Jakarta – Seputar Jagat News. Kasus dugaan korupsi pengadaan dan pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terus berkembang. Hingga kini, lebih dari 70 orang saksi telah diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, meskipun belum ada satu pun tersangka yang diumumkan secara resmi.
“Penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 70 saksi,” ungkap Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakarta Pusat, Bani Immanuel Ginting, pada Kamis, 24 April 2025.
Kasus ini pertama kali mencuat setelah serangan ransomware besar-besaran melumpuhkan infrastruktur PDNS pada Juni 2024. Serangan siber tersebut berdampak pada 210 server milik instansi pusat dan daerah, menyebabkan kelumpuhan layanan publik yang signifikan. Peretas dilaporkan meminta tebusan sebesar USD 8 juta (sekitar Rp 128 miliar) agar data bisa dipulihkan.
Jaksa memperkirakan kerugian negara akibat penyimpangan proyek ini bisa mencapai Rp 500 miliar.
Penyidikan awal mengungkap bahwa perusahaan pemenang tender proyek PDNS, yang bertanggung jawab atas keamanan server, ternyata menggandeng subholding yang tidak memenuhi standar keamanan internasional ISO 22301—standar manajemen kontinuitas bisnis. Akibatnya, sistem pertahanan PDNS gagal menangkal serangan siber.
Lebih dari itu, Kejaksaan menduga kuat bahwa proses pengadaan proyek ini telah dikondisikan. Setidaknya lima perusahaan swasta disebut dimenangkan melalui jalur melawan hukum, termasuk PT AL, yang dituding sebagai penyebab utama kebobolan keamanan siber di PDNS.
Jaksa juga menyatakan telah menemukan bukti adanya kongkalikong antara pihak swasta dan pejabat di Komdigi, yang sengaja merekayasa proses pengadaan demi memenangkan perusahaan-perusahaan tertentu.
Dalam rangka pendalaman kasus, jaksa kembali menggeledah sejumlah lokasi strategis pada Rabu, 23 April 2025, antara lain:
- Kantor PT STM (BDx Data Center)
- Kantor dan gudang PT AL
- Satu unit rumah tinggal pribadi
- Lokasi di Tangerang Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur
Penggeledahan ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 13 Maret 2025, di mana jaksa menggeledah ruangan yang dulunya menjadi kantor Direktorat Layanan Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) di Kemenkominfo.
Kasus korupsi ini terjadi saat kementerian masih bernama Kementerian Komunikasi dan Informatika, di bawah kepemimpinan Budi Arie Setiadi. Setelah peristiwa besar ini, kementerian berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dan jabatan menteri diisi oleh Muetya Hafid.
Munculnya dugaan korupsi PDNS turut memperkeruh reputasi Kominfo/Komdigi di mata publik. Bahkan pada 10 Juli 2024, Aliansi Keamanan Siber untuk Rakyat (Akamsi) menggelar demonstrasi besar-besaran di depan kantor Kominfo. Dalam aksinya, mereka menuntut mundurnya Budi Arie, serta mengecam kebijakan represi digital, pemblokiran informasi, dan desakan untuk membuka kembali pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) dengan melibatkan masyarakat sipil.
Meski proses penyidikan telah berlangsung sejak Juni 2024, dan pemeriksaan saksi mencapai puluhan orang, hingga saat ini belum ada satu pun pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Jaksa belum mengungkap kapan penetapan tersangka akan dilakukan, namun pemeriksaan dan penggeledahan terus berjalan secara intensif. (Red)