JAKARTA — Seputar Jagat News. Seorang hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Minggu Saragih alias MS, resmi diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) setelah terbukti menerima uang dari pihak yang sedang berperkara. Putusan ini dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam sidang etik yang digelar di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Sidang MKH dipimpin oleh Siti Nurdjanah, Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY), yang sekaligus mengesahkan bahwa MS melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim secara serius. Pemecatan MS diumumkan secara resmi oleh Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, melalui siaran pers yang diterima Mistar.id, Rabu (7/5/2025).
Mukti menyampaikan bahwa MS terbukti melanggar berbagai ketentuan dalam Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012–02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Pelanggaran tersebut mencakup sejumlah pasal penting yang mengatur integritas, kenetralan, dan hubungan hakim dengan pihak berperkara.
“Terlapor terbukti menerima uang dari pihak berperkara. Ia juga melanggar banyak poin penting dalam Surat Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY, serta Peraturan Bersama tentang KEPPH,” ujar Mukti.
Dalam proses pemeriksaan, KY menemukan bahwa MS bertemu dengan seorang pengacara yang merupakan pihak berperkara dan menjanjikan bantuan untuk mengurus hingga 11 perkara, termasuk beberapa kasus yang sudah sampai pada tahap kasasi di Mahkamah Agung. Mukti menyebut bahwa MS sendiri mengakui menerima uang dari pengacara tersebut, meskipun ia membantah jumlah yang disebut-sebut mencapai hampir Rp 1 miliar.
“Terlapor memang mengakui ada penerimaan uang, namun ia menyebut itu adalah utang pribadi dan bukan suap untuk perkara,” terang Mukti.
Dalam pembelaannya, MS menyatakan bahwa uang yang ia terima telah dikembalikan kepada pengacara tersebut dan membawa surat pernyataan untuk memperkuat klaimnya. Ia juga menegaskan bahwa uang itu bukan gratifikasi, melainkan pinjaman pribadi.
Selain itu, MS mengklaim bahwa dirinya sudah pernah dikenai sanksi internal berupa penarikan ke Pengadilan Tinggi Medan untuk pembinaan, yang menurutnya seharusnya cukup sebagai bentuk hukuman.
Persidangan MKH juga diwarnai pembelaan dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang meminta agar sanksi terhadap MS dipertimbangkan kembali. IKAHI menyoroti pengabdian MS selama sembilan tahun sebagai hakim ad hoc serta menyebut bahwa MS memiliki tanggungan keluarga, termasuk anak yang masih membutuhkan dukungan finansial.
Namun, Majelis Kehormatan Hakim menolak permohonan tersebut, dengan alasan bahwa MS sudah pernah diberi peringatan tertulis sebelumnya atas pelanggaran etik yang sama—yakni berinteraksi dengan pihak berperkara.
“MKH memutuskan pemecatan tidak hormat karena pelanggaran ini bukan yang pertama, dan telah merusak kepercayaan publik terhadap integritas lembaga peradilan,” tegas Mukti. (Red)