Skandal Tahanan Istimewa di Polresta Sidoarjo: Propram Polri Periksa Perwira Sat Tahti

img 20250505 175129
10 / 100

Sidoarjo — Seputar Jagat News. Penanganan kasus hukum terhadap Fatimatu Zahro, Direktur Utama PT Araya Berlian Perkasa yang menjadi tersangka penipuan dan penggelapan terkait Perumahan Diamond Village 3, kini menyeret sejumlah anggota Polresta Sidoarjo ke dalam pusaran dugaan pelanggaran kode etik kepolisian. Empat anggota dari Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Sat Tahti) Polresta Sidoarjo kini tengah diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propram) Polri, menyusul laporan konsumen yang merasa dirugikan dalam kasus tersebut.

Laporan yang diterima Divisi Propram Polri pada 4 Maret 2025 mengungkap bahwa empat oknum Sat Tahti, yakni Aipda Andik Akhmad, Brigadir Muchammad Rudi Supriyanto, Briptu Achmad Dody Yusuf, dan Iptu Adi Suroso (selaku Kanit Wattah), diduga melakukan pelanggaran kode etik. Mereka dituduh memfasilitasi Fatimatu Zahro, yang saat itu dalam status tahanan, untuk keluar dari sel tahanan dan menandatangani dokumen pembatalan jual beli tanah dalam sebuah ruangan khusus.

Dokumen penyelidikan menyebutkan, para petugas membiarkan Fatimatu Zahro menemui keluarganya di luar ruang tahanan dan menandatangani dokumen penting yang menyangkut kepemilikan tanah yang sedang dalam sengketa hukum.

“Ditemukan cukup bukti dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri sebagaimana diatur dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022,” tulis isi dokumen dari Divisi Propram Polri.

Pengadu dalam kasus ini adalah seorang wanita berinisial FM, konsumen yang telah membeli satu unit rumah di Perumahan Diamond Village 3 seharga Rp 210 juta. Ia melaporkan Fatimatu Zahro ke polisi pada Februari 2024 karena rumah yang dijanjikan tidak dibangun dan Zahro kabur ke Pasuruan.

FM sebelumnya telah melaporkan dugaan suap dan penyalahgunaan wewenang ke Sie Propram Polresta Sidoarjo pada 19 November 2024, namun laporan tersebut tak kunjung ditindaklanjuti. Merasa kecewa, FM akhirnya mengajukan pengaduan ke Divisi Propram Mabes Polri.

Anehnya, setelah laporan ke Mabes, FM justru menerima surat dari Sie Propram Polresta Sidoarjo pada 25 Februari 2025, yang menyatakan tengah melakukan penyelidikan dan pengumpulan keterangan.

“Saya dipanggil sebagai saksi oleh Subbidwaprof Propram Polda Jatim dengan Teradu adalah Iptu AS,” ujar FM saat ditemui, Senin (5/5/2025).

Kasus ini memunculkan kejanggalan besar setelah terungkap bahwa Fatimatu Zahro, saat ditahan di Sat Tahti Polresta Sidoarjo, difasilitasi untuk menandatangani dokumen pembatalan jual beli tanah di luar sel tahanan pada 26 September 2024. Aksi itu dilakukan di ruang khusus, yang seharusnya tak diperuntukkan bagi aktivitas hukum tahanan tanpa izin formal dan pengawasan ketat.

FM menjelaskan bahwa prosedur resmi kunjungan tahanan di Polresta Sidoarjo biasanya dilakukan melalui kaca pembatas dan alat komunikasi. Namun, dalam kasus Zahro, pihak keluarga, yaitu Alfis Syahri (kakak sekaligus Komisaris PT Araya Berlian Perkasa) dan Labibatul Qonita (adik Zahro), diizinkan masuk langsung ke ruangan khusus dengan membawa dokumen penting.

“Pak Denya yang membawa HP dan merekam kejadian,” tutur FM.

Setelah dokumen pembatalan tanah ditandatangani oleh Zahro, dokumen itu kemudian diserahkan ke notaris berinisial Sj di Sidoarjo. Namun, karena tak sesuai standar kenotariatan, dokumen tersebut harus dibuat ulang dan ditandatangani kembali oleh Fatimatu Zahro, yang saat itu sudah menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Sidoarjo.

FM mendesak agar tindakan oknum Sat Tahti Polresta Sidoarjo tidak hanya diproses secara etik, tapi juga secara pidana, karena dianggap telah membantu tersangka melakukan tindakan yang berpotensi merugikan hak-hak konsumen.

“Perbuatan tersebut masuk ranah pidana karena mereka memberikan ruang khusus bagi tersangka untuk bertemu keluarga dan menandatangani pembatalan jual beli tanah yang tengah disengketakan,” tegasnya.

Saat ini, Fatimatu Zahro telah menyandang status sebagai terpidana dan sedang menjalani hukuman penjara 3 tahun di Rutan Kelas II A Porong. Ia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo pada 19 Desember 2024 karena melanggar Pasal 154 jo Pasal 137 UU No. 1 Tahun 2011, lantaran menjual rumah tanpa menyelesaikan status hak tanah terlebih dahulu.

Kasus ini menambah catatan panjang persoalan etika dan integritas di tubuh institusi kepolisian, khususnya terkait profesionalitas penanganan tahanan. Masyarakat kini menunggu langkah tegas dari Propram untuk menuntaskan kasus ini secara transparan dan adil.

(Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *