RI Dihukum Bayar Ganti Rugi Rp 380 M ke Navayo, Kejagung Ungkap Adanya Invoice Fiktif dalam Kasus Satelit

681be7ed3bb92
5 / 100

Jakarta — Seputar Jagat News. Pemerintah Indonesia tengah menghadapi tekanan hukum internasional menyusul putusan arbitrase dari International Criminal Court (ICC) yang mewajibkan pembayaran ganti rugi sebesar USD 24,1 juta (sekitar Rp 380 miliar) kepada perusahaan Navayo International AG. Namun, Kejaksaan Agung menyebut dasar gugatan tersebut berasal dari dokumen yang tidak sah.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Harli Siregar, mengonfirmasi bahwa proses hukum terkait sengketa tersebut masih terus berjalan. “Terkait (ganti rugi) itu tadi sekarang sedang berproses. Kita diwakili oleh Datun (Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara). Nanti kita lihat bagaimana perkembangannya,” ujar Harli dalam konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus, Kamis, 8 Mei 2025.

Kasus ini berkaitan dengan proyek pengadaan satelit yang melibatkan Navayo, di mana Kejagung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Salah satu inti dari sengketa adalah invoice atau tagihan yang diajukan oleh pihak Navayo ke pengadilan internasional.

Brigadir Jenderal TNI (Kehormatan) Andi Suci, Direktur Penindakan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil), menegaskan bahwa invoice yang diajukan Navayo adalah fiktif. “Mereka (Navayo) itu kan mengajukan invoice fiktif. Invoice fiktif itulah yang diajukan ke pengadilan,” tegas Andi dalam kesempatan yang sama.

Persoalan menjadi semakin pelik ketika diketahui bahwa proses pengesahan atas pekerjaan Navayo dilakukan tanpa verifikasi barang di lapangan. Empat dokumen Certificate of Performance (CoP) yang seharusnya menjadi bukti valid pelaksanaan proyek justru ditandatangani berdasarkan pengakuan sepihak.

Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri disebut telah menandatangani empat CoP tersebut dengan persetujuan dua purnawirawan perwira tinggi, Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi. Namun, penyusunan CoP disebut dilakukan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden, bukan oleh personel resmi negara.

Ironisnya, sebelum CoP ditandatangani, tidak ada proses pengecekan fisik atau konfirmasi terhadap keberadaan barang yang disebutkan dalam kontrak dengan Navayo. Meski dokumen kinerja telah diterbitkan, anggaran untuk proyek tersebut nyatanya tidak tersedia hingga 2019.

Kekosongan anggaran itu tidak menghentikan Navayo. Perusahaan berbasis luar negeri itu tetap mengirimkan empat invoice ke Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk menagih pembayaran atas pekerjaan yang mereka klaim telah dilakukan. Ketika Indonesia tidak memenuhi pembayaran tersebut, Navayo membawa kasus ini ke ranah hukum internasional.

Pada awal tahun 2025, Arbitrase Singapura memutuskan bahwa Indonesia harus membayar ganti rugi kepada Navayo sebesar USD 20.862.822. Putusan ini didasarkan pada keberadaan CoP yang telah ditandatangani oleh pejabat TNI, yang menjadi bukti hukum bahwa proyek dianggap telah selesai, meskipun secara fisik tidak dapat dipastikan keberadaannya.

“Kementerian Pertahanan RI harus membayar sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP),” jelas Harli.

Saat ini, Kejagung melalui bidang Perdata dan Tata Usaha Negara terus memproses perkembangan perkara ini di tingkat internasional. Sementara itu, penyidikan dalam negeri terus didalami, termasuk penetapan tiga tersangka yang diyakini memiliki peran penting dalam penerbitan dokumen fiktif tersebut.

Kasus ini menjadi peringatan keras terhadap pengelolaan proyek strategis nasional, terutama yang bersentuhan dengan pihak asing dan pembiayaan negara. Kejagung belum merinci apakah Indonesia akan mengajukan banding atau bentuk upaya hukum lain atas putusan arbitrase tersebut. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *