Penetapan Jurnalis sebagai Tersangka Dinilai Langgar Prosedur, AJI Kritik Langkah Kejagung

Whats App Image 2025 04 22 at 14 46 02 5b59ec99e1
7 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar (TB), sebagai tersangka kasus dugaan perintangan penyidikan menuai kritik tajam dari kalangan jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut tindakan Kejagung terlalu jauh karena menjerat seorang jurnalis dengan pasal pidana tanpa terlebih dahulu melibatkan Dewan Pers.

Kasus ini mencuat setelah Kejagung menilai sejumlah karya jurnalistik yang ditayangkan oleh JakTV sebagai bagian dari upaya mengganggu proses penyidikan perkara korupsi, khususnya yang berkaitan dengan tata niaga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

“Kita melihat Kejaksaan sebagai penegak hukum terlalu jauh melangkah untuk menjadikan Direktur Pemberitaan JakTV tersebut sebagai tersangka dengan delik perintangan, dan buktinya adalah pemberitaan,” ujar Erick Tanjung, Ketua Bidang Advokasi AJI, dalam diskusi publik bertajuk “Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power?” di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).

Erick menegaskan bahwa karya jurnalistik seharusnya diuji melalui mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Kalau bicara tentang pemberitaan, karya jurnalistik, itu adalah ranah UU Pers. Kewenangan itu sepenuhnya ada di Dewan Pers,” tambahnya.

AJI khawatir jika pendekatan hukum seperti ini dibiarkan, maka Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi dapat menjadi alat represif yang membungkam kritik publik dan kebebasan pers. “Pasal ini bisa jadi pasal karet yang berbahaya bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kalau kasus berita bisa dijerat, itu jadi ancaman besar,” ujar Erick.

Sebelumnya, Kejagung melalui Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan obstruction of justice. Selain Tian Bahtiar, dua nama lain adalah Marcella Santoso (MS), seorang advokat, dan Junaedi Saibih (JS), dosen serta kuasa hukum.

“Pertama tersangka MS selaku advokat, kedua tersangka JS sebagai dosen dan advokat, ketiga tersangka TB selaku Direktur Pemberitaan JakTV,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.

Dari hasil penyidikan, Kejagung mengungkap adanya permufakatan jahat antara ketiganya untuk menghalangi penyidikan beberapa perkara korupsi besar, termasuk kasus di PT Timah, impor gula, dan vonis lepas dalam ekspor minyak mentah (CPO).

Permufakatan tersebut diduga dimulai dengan pemberian uang sebesar Rp478 juta dari Marcella dan Junaedi kepada Tian. Uang itu disebut digunakan untuk mendanai produksi berita-berita negatif terhadap proses penyidikan yang dilakukan Kejagung. Berita-berita tersebut kemudian disebarluaskan melalui siaran JakTV, media daring, hingga akun media sosial perusahaan.

“JS membuat narasi dan opini yang menyebut perhitungan kerugian negara oleh Kejaksaan menyesatkan. TB kemudian menyebarkannya lewat berbagai media,” ujar Qohar.

Tak hanya itu, Marcella dan Junaedi juga diduga membiayai aksi demonstrasi dan kegiatan seminar, podcast, serta talkshow, yang semuanya diarahkan untuk membentuk opini publik negatif terhadap Kejagung. Narasi tersebut diangkat kembali oleh Tian dalam konten-konten jurnalistik yang dipublikasikan JakTV.

Menurut penyidik, tindakan ini bertujuan untuk mengganggu konsentrasi penyidik dan bahkan memengaruhi pembuktian perkara di persidangan. “Mereka ingin seolah penyidik tidak profesional. Ini dimaksudkan agar perkara bisa dibebaskan, atau minimal mengganggu jalannya proses hukum,” kata Qohar.

Lebih lanjut, Kejagung juga mengungkap bahwa beberapa barang bukti berupa percakapan digital yang berkaitan dengan permufakatan jahat tersebut telah dihapus. Namun, para tersangka membantah seluruh tuduhan.

Atas dugaan perbuatannya, ketiganya disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus ini pun menjadi sorotan tajam di tengah wacana revisi KUHAP dan meningkatnya kekhawatiran publik terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *