Jakarta – Seputar Jagat News. Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini menjadi sorotan setelah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, yang terdiri dari Transparency International Indonesia (TI Indonesia), Themis Indonesia, dan Trend Asia. Laporan tersebut terkait dengan dugaan penyalahgunaan penggunaan private jet yang dilakukan oleh beberapa pejabat KPU. Menanggapi laporan ini, Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, akhirnya buka suara dan memberikan penjelasan mengenai alasan penggunaan private jet tersebut.
Afifuddin mengungkapkan bahwa penggunaan private jet dilakukan untuk mempercepat distribusi logistik Pemilu 2024. Ia menjelaskan bahwa dengan waktu yang terbatas, terutama dengan durasi kampanye yang hanya 75 hari, pihaknya merasa perlu melakukan langkah-langkah cepat, termasuk dengan menggunakan fasilitas pesawat pribadi untuk perjalanan dinas.
“Pemilu 2024, kampanye itu cuma 75 hari, jadi betapa waktunya sangat mepet. Sehingga ada kebijakan untuk bagaimana mempercepat proses-proses, termasuk juga memastikan jajaran ad hoc kita, rekrutmen di bawah bagaimana. Intinya untuk percepatan persiapan, kebijakannya begitu. Itu yang kemudian kami lakukan,” jelas Afifuddin saat ditemui di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).
Afifuddin mengonfirmasi bahwa dirinya termasuk salah satu komisioner yang menggunakan fasilitas private jet tersebut. Salah satu perjalanan dinas yang dilakukannya adalah penerbangan ke Papua. Namun, Afifuddin enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai proses pengambilan keputusan untuk penggunaan fasilitas pesawat pribadi itu.
“Saya (pakai) ke Papua,” tambah Afifuddin. “Bukan urusan saya urusi begitu (proses penggunaan), ke kesekretariatan nanti,” jelasnya, merujuk pada bagian sekretariat KPU yang bertanggung jawab atas pengadaan fasilitas tersebut.
Sementara itu, laporan yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi ke KPK mencuat setelah temuan dugaan penyalahgunaan dalam pengadaan private jet. Salah satu temuan utama adalah dugaan penggelembungan nilai kontrak dengan perusahaan penyedia jet. Laporan tersebut mencatat adanya ketidaksesuaian antara nilai kontrak dan anggaran yang diajukan.
Peneliti dari TI Indonesia, Agus Sarwono, menjelaskan bahwa pengadaan pesawat tersebut diduga memiliki sejumlah kejanggalan. “Di proses pengadaannya kami melihat ada hal yang sangat janggal. Salah satunya adalah nilai kontrak itu melebihi dari pagu. Nilai kontraknya itu totalnya Rp 65 miliar, sementara detail pagunya hanya sekitar Rp 46 miliar. Itu ada dua kontrak, Januari dan Februari 2024,” kata Agus Sarwono, mengutip laporan yang mereka ajukan pada Rabu (7/5/2025) di Gedung KPK, Jakarta Selatan.
Koalisi ini juga mengungkapkan dugaan kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran untuk pengadaan jet tersebut, yang dinilai tidak jelas dan cenderung sederhana. Mereka menilai bahwa beberapa perjalanan yang dilakukan dengan private jet seharusnya dapat dilakukan dengan pesawat komersil, karena banyak perjalanan yang tidak menuju daerah-daerah terluar atau tertinggal, yang bisa dijangkau oleh penerbangan komersial.
Peneliti dari Trend Asia, Zakki Amali, menambahkan bahwa berdasarkan analisis mereka, sekitar 60 persen dari total perjalanan dengan private jet dilakukan ke daerah-daerah yang tidak termasuk dalam kategori terluar atau tertinggal. Beberapa perjalanan yang diduga tidak perlu menggunakan private jet antara lain perjalanan ke Bali, Surabaya, Banjarmasin, dan Malang, yang semuanya dapat dijangkau dengan pesawat komersil.
“Menurut analisa kami dari 100 persen perjalanan mereka, ada sekitar 59 trip, itu 60 persen ke daerah-daerah yang bukan terluar dan bukan tertinggal. Sehingga bisa digunakan pesawat-pesawat komersial,” ungkap Zakki.
Setelah laporan ini diterima, KPK diperkirakan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai pengadaan private jet oleh KPU pada tahun 2024, serta menelusuri apakah ada indikasi penyalahgunaan wewenang atau anggaran yang merugikan negara.
Kasus ini mengundang perhatian publik terkait dengan penggunaan dana negara untuk fasilitas yang dipertanyakan kelayakannya, terutama dalam konteks pengadaan yang tidak transparan dan proses pengambilan keputusan yang kurang jelas.
Keterlibatan KPK dalam kasus ini diharapkan bisa memberikan kejelasan mengenai dugaan penyalahgunaan fasilitas negara yang dapat merugikan keuangan negara serta menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran publik. (Red)