Kejaksaan Agung Tegaskan Direksi dan Komisaris BUMN Tetap Bisa Diusut Meski Tak Lagi Disebut Penyelenggara Negara

download 9 1
8 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Kejaksaan Agung Republik Indonesia menegaskan bahwa para direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap bisa diperiksa dan disidik dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi, meskipun secara hukum formal mereka tak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara dalam Undang-Undang BUMN yang baru disahkan.

Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum), Harli Siregar, pada Senin, 5 Mei 2025.

“Selagi ada fraud dan indikasi aliran dana negara, bisa. Itu dasarnya,” ujar Harli.

Yang dimaksud fraud, lanjut Harli, mencakup persekongkolan atau pemufakatan jahat, khususnya terkait dengan penyertaan modal negara (PMN). Jika dalam proses tersebut ditemukan penyimpangan atau penyelewengan dana negara, maka baik direksi maupun komisaris BUMN tetap dapat diusut secara hukum.

Konteks Undang-Undang BUMN Terbaru
Pernyataan ini muncul di tengah polemik hukum setelah disahkannya Undang-Undang BUMN terbaru pada 24 Februari 2025. Dalam UU tersebut, terdapat pasal-pasal yang menyebutkan bahwa para pengurus BUMN bukan lagi bagian dari penyelenggara negara.

Pasal 3X ayat 1 menyatakan bahwa organ dan pegawai badan (BUMN) bukan merupakan penyelenggara negara.

Pasal 9G lebih tegas menyebutkan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukanlah penyelenggara negara.

Namun, dalam penjelasan Pasal 9G, disebutkan bahwa penghilangan status sebagai penyelenggara negara tidak berarti sepenuhnya membebaskan tanggung jawab hukum pengurus BUMN jika ditemukan pelanggaran yang berkaitan dengan keuangan negara.

KPK Turut Lakukan Kajian
Merespons perubahan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tengah melakukan kajian menyeluruh terhadap dampak hukum dari UU BUMN tersebut. Kajian ini bertujuan untuk melihat apakah KPK masih dapat menangani kasus yang melibatkan direksi dan komisaris BUMN, yang kini secara yuridis tidak lagi disebut sebagai penyelenggara negara.

“Untuk melihat bagaimana kaitannya undang-undang tersebut dengan tugas, fungsi, dan kewenangan KPK,” ujar anggota tim juru bicara KPK, Budi Prasetyo, pada hari yang sama.

Menurut UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, tepatnya di Pasal 11 ayat 1, lembaga antirasuah ini berwenang menyelidiki dan menyidik kasus korupsi yang:

  • Melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, dan/atau
  • Menyangkut kerugian negara minimal Rp1 miliar.

Sementara itu, definisi penyelenggara negara tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 UU yang sama, yakni mencakup pejabat negara di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, serta pihak lain yang fungsi dan tugasnya berkaitan langsung dengan urusan negara.

Perluasan Kajian ke Aturan Lain
Lebih lanjut, Budi mengatakan bahwa kajian tersebut tidak hanya terbatas pada UU KPK dan UU BUMN, melainkan juga akan mempertimbangkan regulasi penting lainnya seperti:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
  • Undang-Undang Keuangan Negara
  • Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

“KPK juga akan memperhatikan undang-undang lain yang relevan untuk memastikan kewenangan tetap dapat dijalankan secara optimal,” tuturnya.

Pernyataan tegas dari Kejaksaan Agung ini menjadi sinyal bahwa meskipun terjadi perubahan definisi status hukum dalam regulasi terbaru, upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dana negara tetap bisa dilakukan terhadap pengurus BUMN. Proses kajian oleh KPK pun menjadi langkah penting untuk memastikan tidak ada celah hukum yang dimanfaatkan dalam praktik korupsi di sektor BUMN.

(Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *