Jakarta — Seputar Jagat News. Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) mengungkapkan peran seorang mantan pejabat di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan proyek pengadaan satelit. Leonardi, mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan (Baranahan Kemenhan), diduga telah menandatangani kontrak dengan perusahaan asing, Navayo International AG, tanpa melalui proses pengadaan yang sah.
Leonardi, yang merupakan purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir Laksamana Muda, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Proyek yang dimaksud adalah pengadaan user terminal untuk satelit dengan slot orbit 1230 BT di Kementerian Pertahanan yang berlangsung pada tahun 2016. Dalam proses ini, Navayo International AG, perusahaan asal Hungaria, ditunjuk sebagai pihak ketiga yang bertanggung jawab dalam proyek tersebut, meskipun penunjukan perusahaan ini tidak mengikuti prosedur pengadaan barang dan jasa yang diatur.
Menurut Brigjen Andi Suci, Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung, Leonardi sebagai Kepala Baranahan Kemenhan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menandatangani kontrak dengan CEO Navayo, Gabor Kuti, pada tanggal 1 Juli 2016. Kontrak tersebut adalah perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan terkait, yang awalnya bernilai 34.194.300 dollar AS namun kemudian diubah menjadi 29.900.000 dollar AS.
Kontrak tersebut ternyata merupakan rekomendasi dari Anthony Thomas Van Der Hayden, seorang tenaga ahli satelit di Kemenhan saat itu, yang berperan besar dalam pemilihan Navayo International AG sebagai pihak pelaksana. Setelah kontrak ditandatangani, Navayo mengirimkan barang kepada Kemenhan, namun tidak ada pihak yang memverifikasi keberadaan barang-barang tersebut sebelum pembayaran dilakukan.
Lebih lanjut, proses pengeluaran dana untuk proyek ini juga penuh kejanggalan. Setelah barang dikirim, pihak Kemenhan, yaitu Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri, atas persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Leonardi, menandatangani empat Surat Certificate of Performance (CoP) untuk pekerjaan yang disebut telah dilaksanakan oleh Navayo.
Namun, CoP tersebut ternyata disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden, yang merupakan pihak yang juga terlibat dalam pemilihan perusahaan. Yang lebih mencurigakan, tidak ada pihak yang memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Navayo sebelum CoP ini diterbitkan.
Sebagai akibat dari proses yang tidak transparan dan tidak sah ini, Navayo International AG mengajukan klaim terhadap Indonesia melalui Arbitrase Singapura. Pada awal tahun 2025, Indonesia dijatuhi hukuman sebesar 20.862.822 dollar AS berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura, yang mengharuskan pemerintah Indonesia membayar atas dasar Certificate of Performance yang telah diterbitkan.
Berdasarkan perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), proyek ini diduga menyebabkan kerugian negara sebesar 21.384.851,89 dollar AS. Kejaksaan Agung juga meminta sejumlah ahli satelit di Indonesia untuk memeriksa kualitas barang yang diterima Kemenhan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa 550 unit handphone yang dikirim oleh Navayo tidak memenuhi spesifikasi yang tercantum dalam kontrak, terutama karena tidak dilengkapi dengan Secure Chip yang menjadi syarat teknis.
Berdasarkan temuan tersebut, Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Leonardi, Anthony Thomas Van Der Hayden, dan Gabor Kuti sebagai tersangka dalam kasus ini. Penetapan tersangka ini juga dilakukan untuk memenuhi kewajiban pembayaran 20.862.822 dollar AS berdasarkan putusan arbitrase.
Selain itu, Kejagung juga melakukan upaya penyitaan terhadap sejumlah aset yang terkait dengan para tersangka, termasuk Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia dan beberapa properti lainnya di Paris, yang telah disahkan oleh Pengadilan Paris atas permohonan Navayo International AG.
Ketiga tersangka didakwa melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mereka didakwa melanggar pasal-pasal mengenai perbuatan korupsi yang berujung pada kerugian negara. Pasal yang dikenakan adalah:
- Primair: Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18
- Subsidiar kedua: Pasal 3 Jo Pasal 18
- Subsidiar ketiga: Pasal 8 Jo Pasal 18
Kasus ini terus bergulir, dan Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menyelesaikan proses hukum hingga tuntas. Sidang selanjutnya diharapkan akan mengungkap lebih banyak informasi mengenai dugaan keterlibatan pihak-pihak lain dalam proyek ini. (Red)