Kejagung Tegaskan, Kerugian Negara dalam Kasus Tom Lembong Tidak Harus Dihitung oleh BPK

6736df631bbb8
4 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Kamis, 21 November 2024. Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa dalam penyidikan kasus dugaan korupsi, perhitungan kerugian negara tidak harus selalu melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, sehubungan dengan pernyataan kuasa hukum eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong yang membantah adanya kerugian negara terkait kebijakan impor gula yang diambil oleh kliennya pada tahun 2015-2016.

Harli Siregar menegaskan bahwa meskipun BPK dan BPKP biasanya dilibatkan dalam pembuktian tindak pidana korupsi, penyidik Kejagung juga memiliki kewenangan untuk bekerja sama dengan instansi lain dalam rangka menghitung dan mengonfirmasi kerugian negara yang timbul akibat dugaan tindak pidana korupsi. “Pada prinsipnya, penyidik tindak pidana korupsi tidak hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP, tetapi juga dapat bekerja sama dengan instansi lain untuk memastikan kerugian negara dalam suatu perkara,” ujar Harli dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Selasa (19/11/2024).

Meski Harli tidak merinci instansi lain yang dimaksud, ia sebelumnya mengungkapkan bahwa Kejagung telah menggandeng ahli untuk membantu menghitung kerugian negara dalam kasus yang melibatkan Tom Lembong. “Kami sedang bekerja sama dengan para ahli untuk memastikan berapa kerugian negara yang sebenarnya. Perhitungan tersebut saat ini masih berlangsung,” tambahnya di Gedung Kejagung Jakarta pada Kamis (31/10/2023).

Kasus ini bermula dari kebijakan impor gula yang diterbitkan oleh Tom Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada 2015-2016. Kejagung menduga kebijakan tersebut merugikan negara hingga Rp 400 miliar, yang kemudian memunculkan kontroversi mengenai keberadaan kerugian negara itu sendiri. Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, dengan tegas membantah klaim tersebut. Menurut Ari, tidak ada temuan dari BPK yang menyatakan bahwa kebijakan impor gula tersebut telah merugikan negara. “Kami sudah membaca temuan BPK, dan tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa negara mengalami kerugian dalam kebijakan impor gula ini,” tegas Ari di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (5/11/2024).

Ari juga mengingatkan bahwa dalam penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang digunakan untuk menjerat Tom Lembong, kerugian negara harus bersifat nyata atau actual loss, bukan potential loss. Ia merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya kerugian negara, harus ada bukti yang jelas dan terukur. “Sampai sekarang, klaim kerugian negara yang disebutkan sebesar Rp 400 miliar ini masih belum jelas. Dari siapa temuan itu berasal? Bagaimana cara temuan tersebut diperoleh?” tambahnya.

Pada 29 Oktober 2024, Kejagung resmi menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus ini, yang berkaitan dengan kebijakan impor gula yang diduga merugikan negara. Tidak terima dengan penetapan status tersangka tersebut, Tom Lembong mengajukan permohonan praperadilan dengan nomor 113/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL, yang akan menguji keabsahan penetapan status tersangka terhadapnya.

Proses hukum ini kini memasuki tahap yang lebih kompleks, di mana KPK dan Kejagung akan terus menggali bukti-bukti yang ada. Meski ada perbedaan pandangan mengenai keberadaan kerugian negara, Kejagung tetap berkomitmen untuk mengungkap secara tuntas apakah kebijakan impor gula yang diterbitkan oleh Tom Lembong benar-benar merugikan keuangan negara. Sebagai bagian dari proses hukum yang transparan, Kejagung juga akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk ahli, untuk memastikan keakuratan perhitungan kerugian negara tersebut. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *