Jakarta – Seputar Jagat News. Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang diduga menjadi penyebab kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Kebangkrutan Sritex yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah, memunculkan pertanyaan terkait kelalaian dalam pemberian fasilitas kredit oleh sejumlah bank milik negara.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, mengonfirmasi bahwa penyidikan terhadap kasus ini telah dimulai sejak akhir 2024. Fokus utama penyidikan adalah dugaan penyimpangan dalam pemberian fasilitas kredit oleh beberapa bank pelat merah kepada Sritex. Namun, Febrie menyatakan bahwa Kejagung belum dapat memberikan rincian lebih lanjut mengenai hasil penyidikan hingga saat ini. “Kita tunggu hasilnya nanti dari tim penyidikan,” ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menambahkan bahwa proses penyidikan masih bersifat umum. Pihaknya telah memanggil beberapa saksi dan pihak terkait untuk dimintai keterangan. Namun, identitas para saksi belum dapat diumumkan karena status penyidikan yang masih umum. “Kalau sudah ada tersangkanya, pasti akan diumumkan ke masyarakat sebagai bentuk keterbukaan kita,” kata Harli.
Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang memutuskan bahwa Sritex dinyatakan pailit. Keputusan ini mengakhiri operasional perusahaan yang telah beroperasi sejak 1966. Pada 1 Maret 2025, Sritex resmi menutup seluruh pabriknya dan memberhentikan sekitar 20.000 pekerja.
Tim kurator mencatat bahwa Sritex memiliki utang total sebesar Rp 29,8 triliun, yang berasal dari 1.654 kreditur. Rincian utang tersebut mencakup Rp 619,59 miliar kepada 349 kreditur preferen, Rp 919,77 miliar kepada 22 kreditur separatis, dan Rp 28,34 triliun kepada 94 kreditur konkuren. Utang kepada bank pelat merah mencapai Rp 4,2 triliun, dengan rincian Rp 2,9 triliun kepada Bank Negara Indonesia (BNI), Rp 611 miliar kepada Bank BJB, Rp 185 miliar kepada Bank DKI, dan Rp 502 miliar kepada Bank Jateng.
Kebangkrutan Sritex tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga menimbulkan masalah sosial. Sekitar 20.000 pekerja kehilangan pekerjaan dan berisiko tidak menerima pesangon karena aset perusahaan yang tidak mencukupi untuk menutupi seluruh utang. “Biasanya pekerja hanya mendapatkan sekitar 2,5 persen dari hak pesangon mereka,” kata Ristadi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN).
Selain itu, keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Sritex memperkuat status pailit perusahaan. Hal ini mengharuskan penjualan aset perusahaan untuk membayar utang, meskipun nilai aset yang dimiliki Sritex jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban utangnya. “Walaupun seluruh aset Sritex dijual, hasilnya masih belum bisa menutupi utang perusahaan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berencana memberikan bantuan untuk penyelamatan Sritex melalui skema restrukturisasi utang. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa restrukturisasi ini bertujuan untuk memberikan keringanan utang kepada Sritex agar perusahaan dapat kembali beroperasi dan menyelamatkan lapangan pekerjaan.
Sementara itu, Kejagung terus melanjutkan penyidikan untuk mengungkap dugaan tindak pidana korupsi yang mungkin terjadi dalam proses pemberian fasilitas kredit kepada Sritex. Jika ditemukan bukti yang cukup, Kejagung tidak akan ragu untuk menetapkan tersangka dan membawa kasus ini ke pengadilan.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan perusahaan besar dan bank-bank milik negara. Publik menantikan perkembangan lebih lanjut dari Kejagung terkait penyidikan ini dan langkah-langkah yang akan diambil untuk menuntaskan kasus korupsi yang diduga terjadi. (Red)