Jakarta – Seputar Jagat News. Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan penting terkait pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam keputusan tersebut, MK memutuskan bahwa pasal pencemaran nama baik tidak berlaku untuk institusi pemerintah atau jabatan. Pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan akan mematuhi dan menghormati keputusan tersebut.
Prasetyo Hadi menjelaskan kepada wartawan pada Rabu, 30 April 2025, bahwa hingga saat ini pihak pemerintah belum menerima salinan resmi atau petikan keputusan dari MK, namun mereka berkomitmen untuk segera melakukan koordinasi begitu dokumen tersebut diterima. “Tentu saja, pemerintah menghormati keputusan MK dan akan menjalankan keputusan tersebut, manakala keputusan itu berkonsekuensi terhadap kebijakan-kebijakan di internal pemerintahan,” ujar Prasetyo.
Pernyataan ini merujuk pada putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan warga bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan, terkait beberapa pasal dalam UU ITE yang dianggapnya tidak memberikan kepastian hukum mengenai penanganan pencemaran nama baik. Pasal-pasal yang digugat antara lain Pasal 27A, Pasal 28 ayat (2), Pasal 45 ayat (4), dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE.
Prasetyo juga menegaskan bahwa putusan MK ini memiliki pengaruh positif terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. “Keputusan ini kami anggap sebagai kabar baik terhadap kebebasan berpendapat. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kebebasan berpendapat itu tetap dilandasi dengan rasa tanggung jawab,” kata Prasetyo. Ia mengajak masyarakat untuk menggunakan kebebasan berpendapat dengan bijak, tidak berdasarkan kebencian, dan selalu menyertakan data yang akurat serta tidak merendahkan pihak lain.
Prasetyo juga mengingatkan agar kebebasan berpendapat tidak disertai dengan ujaran kebencian atau penyebaran informasi yang dapat merugikan pihak-pihak lain. “Yang paling prinsip adalah agar kebebasan berpendapat itu tidak menyampaikan segala sesuatu yang tidak menghormati pihak lain dan tidak menggunakan data yang berlandaskan kebencian,” tambahnya.
Gugatan yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan terhadap sejumlah pasal dalam UU ITE bertujuan untuk menuntut perubahan terhadap ketentuan yang dianggapnya ambigu, terutama dalam hal pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian melalui media elektronik. Mahkamah Konstitusi memutuskan sebagian gugatan tersebut dikabulkan dan memberikan penafsiran baru terkait beberapa frasa dalam pasal-pasal yang digugat.
Menurut amar putusan yang dibacakan oleh MK, frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai pengecualian untuk lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik, atau jabatan tertentu. Begitu juga dengan frasa “suatu hal” yang dimaknai sebagai perbuatan merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang.
Keputusan ini juga mengklarifikasi tentang apa yang dimaksud dengan “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik yang menghasut”. MK memutuskan bahwa hanya informasi elektronik yang secara substantif mengandung tindakan atau penyebaran kebencian yang dapat menimbulkan risiko diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan yang dapat dipidana, sehingga penyebaran informasi yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak bisa dikenakan sanksi pidana.
Sebagai bagian dari putusannya, MK memerintahkan agar keputusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia, sekaligus menolak gugatan yang diajukan selain yang telah dikabulkan.
Pemerintah Indonesia menyambut baik keputusan MK yang dianggap memberi ruang lebih luas bagi kebebasan berpendapat di Indonesia, namun dengan tetap menjaga batasan agar tidak merugikan atau menyinggung pihak lain. Prasetyo menegaskan bahwa pemerintah akan mengikuti dan menyesuaikan kebijakan dalam menjalankan amanah tersebut.
Keputusan MK ini diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum terkait penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, serta mengurangi potensi penyalahgunaan pasal-pasal tersebut untuk membungkam kebebasan berpendapat di Indonesia. Masyarakat diharapkan lebih bijaksana dalam menggunakan media elektronik dan memastikan bahwa informasi yang disampaikan tidak merugikan pihak lain. (Red)