UU BUMN Baru: Direksi BUMN Tak Lagi Penyelenggara Negara, KPK dan Kejagung Lakukan Kajian Hukum

Screenshot 2025 05 07 235151 e1746636793122
4 / 100

JAKARTA – Seputar Jagat News. Polemik baru muncul dalam penegakan hukum di sektor badan usaha milik negara (BUMN) setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam beleid tersebut, tercantum bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan lagi merupakan penyelenggara negara.

Klausul ini tertuang secara eksplisit dalam Pasal 9G dan kini tengah dalam tahap kajian intensif oleh dua institusi penegakan hukum utama di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

KPK sebagai lembaga yang memiliki mandat khusus menangani korupsi yang melibatkan penyelenggara negara, menyadari potensi dampak besar dari perubahan definisi tersebut.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyampaikan bahwa KPK saat ini masih dalam tahap melakukan kajian hukum mendalam, baik melalui Biro Hukum maupun Kedeputian Penindakan, untuk memahami sejauh mana efektivitas dan ruang lingkup penegakan hukum yang bisa tetap dijalankan dalam konteks undang-undang baru ini.

“Ya KPK ini pelaksana undang-undang. Penegakan hukum tidak boleh keluar dari aturan hukum,” tegas Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (2/5/2025).

Meski demikian, Tessa belum bisa memastikan apakah direksi atau komisaris BUMN tetap dapat dijadikan tersangka oleh KPK, mengingat status mereka kini bukan lagi penyelenggara negara.

“Kalau memang saat ini bukan merupakan penyelenggara negara yang bisa ditangani oleh KPK, ya tentu KPK tidak bisa menangani,” jelasnya, sembari menambahkan bahwa kajian lanjutan sangat diperlukan.

Menteri BUMN Erick Thohir pun ikut turun tangan dengan mengunjungi kantor KPK pada Selasa (29/4/2025). Dalam kunjungan tersebut, Erick membahas sinkronisasi regulasi dan implementasi hukum dalam konteks UU BUMN yang baru.

“Bersinkronisasi, sehingga nanti ada kesepakatan yang efektif sesuai dengan perubahan yang kita lihat sekarang ini di UU BUMN,” ujar Erick di Jakarta.

Erick mengakui bahwa perubahan dalam UU BUMN masih sangat baru dan perlu penataan ulang agar tidak menimbulkan ambiguitas hukum. Ia menyebutkan, definisi dan implementasi teknis dari status baru direksi dan komisaris BUMN perlu diperjelas.

“Ini kan baru lahir. Belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan,” katanya.

Kejaksaan Agung: Fraud Masih Bisa Dijerat Hukum
Dari sisi Kejaksaan, Harli Siregar, pejabat di Kejagung yang juga mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Barat, menegaskan bahwa Kejaksaan masih memiliki ruang untuk bertindak dalam konteks tindak pidana fraud di tubuh BUMN.

“Kami terus melakukan pengkajian terhadap apakah kewenangan kejaksaan masih diatur di dalam UU BUMN,” kata Harli, Senin (5/5/2025).

Menurut Harli, selama ada unsur penipuan, persekongkolan, permufakatan jahat, atau aliran dana negara yang diselewengkan, maka BUMN tetap bisa dijerat dalam konteks pidana korupsi.

“Kalau ada aliran uang negara dalam satu kegiatan BUMN dan terjadi fraud, itu menjadi pintu masuk APH (Aparat Penegak Hukum),” tegasnya.

Ia menambahkan, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) telah menyatakan bahwa fraud adalah bentuk manipulasi dan penyimpangan yang merugikan individu maupun institusi. Maka, aspek ini tetap relevan dalam penegakan hukum oleh Kejagung.

Perubahan status direksi dan komisaris BUMN dari penyelenggara negara menjadi entitas non-penyelenggara membawa dampak hukum yang sangat besar. Jika sebelumnya mereka bisa ditindak langsung oleh KPK karena berstatus penyelenggara negara, kini pendekatannya bisa berbeda—atau bahkan terbatas.

Kajian yang tengah dilakukan oleh KPK dan Kejagung menjadi krusial untuk menentukan nasib penegakan hukum terhadap para pejabat tinggi di BUMN, terutama dalam kasus dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *