Jakarta – Seputar Jagat News. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi tantangan besar dalam penegakan hukum di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyusul diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN. Salah satu klausul dalam UU tersebut menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN bukan lagi tergolong sebagai penyelenggara negara, yang secara otomatis berpotensi membatasi kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi di tubuh BUMN.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menjelaskan bahwa pihaknya tidak bisa bertindak di luar ketentuan hukum yang berlaku. Sesuai dengan UU, jika direksi dan komisaris BUMN tidak dikategorikan sebagai penyelenggara negara, maka KPK tidak berwenang lagi menangani kasus korupsi yang melibatkan mereka.
“KPK ini kan pelaksana undang-undang, aturan yang ada tentu harus dijalankan. Penegakan hukum tidak boleh keluar dari aturan hukum,” tegas Tessa pada Minggu (4/5/2025).
Ia menambahkan, jika merujuk pada ketentuan yang berlaku, maka saat ini KPK tidak bisa menangani perkara yang melibatkan pimpinan BUMN.
“Kalau memang saat ini bukan merupakan penyelenggara negara yang bisa ditangani oleh KPK, ya tentu KPK tidak bisa menangani,” imbuhnya.
Kendati demikian, KPK tidak tinggal diam. Lembaga antirasuah tersebut tengah melakukan pengkajian internal terhadap UU BUMN yang baru. Kajian ini dilakukan oleh Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan KPK untuk mengukur sejauh mana dampak aturan ini terhadap kerja-kerja pemberantasan korupsi, khususnya di lingkungan BUMN.
“Tentunya dengan adanya aturan yang baru, perlu ada kajian baik itu dari Biro Hukum maupun dari Kedeputian Penindakan untuk melihat sampai sejauh mana aturan ini akan berdampak terhadap penegakan hukum yang bisa dilakukan di KPK,” kata Tessa.
Kajian tersebut juga dimaksudkan sebagai bentuk kontribusi KPK dalam memberikan masukan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang telah menegaskan komitmennya dalam meminimalkan kebocoran anggaran.
Pasal 3X ayat 1 dan Pasal 9G dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN menyebutkan bahwa organ dan pegawai badan bukan merupakan penyelenggara negara. Hal ini diperkuat dalam penjelasan pasal yang menegaskan bahwa status penyelenggara negara bagi pengurus BUMN dianggap tidak berlaku, sehingga mengurangi dasar hukum KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Sementara itu, KPK masih mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, di mana dalam Pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa KPK hanya berwenang menangani kasus yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, atau pihak terkait, serta perkara yang menyebabkan kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
Dengan dikeluarkannya direksi dan komisaris BUMN dari definisi penyelenggara negara, ruang lingkup kerja KPK menyusut, meski nominal kerugian negara masih bisa menjadi pintu masuk penanganan.
Menanggapi dinamika tersebut, Menteri BUMN Erick Thohir melakukan audiensi dengan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada Selasa (29/4/2025) di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan. Pertemuan itu membahas keberlakuan UU BUMN dan pengawasan terhadap Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara)—super holding baru yang membawahi berbagai BUMN.
“Berkonsultasi tapi juga bersinkronisasi, sehingga nanti ada kesepakatan yang efektif sesuai dengan perubahan yang adanya kami lihat sekarang ini UU BUMN,” ucap Erick.
Erick menjelaskan bahwa perubahan UU berdampak pada pola kerja dan struktur pengambilan keputusan di Kementerian BUMN. Kini, hanya dengan saham Seri A Dwiwarna sebesar 1 persen di Danantara, kementerian sudah dapat membuat keputusan strategis yang cepat.
Meski begitu, Erick menyadari bahwa pengawasan harus diperkuat agar tidak menimbulkan celah korupsi.
“Kami menekan, kami tidak menghilangkan, karena tidak mungkin. Kenapa tidak mungkin? Bukan karena tidak mampu, tapi memang sistem dan kepemimpinan yang harus kami terus bangun,” tegas Erick.
Ia pun menyatakan akan membangun sistem pengawasan berbasis kerja sama kelembagaan dengan KPK, dan menyebut rencana realisasinya dalam 2 hingga 3 minggu ke depan.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan bahwa keterlibatan KPK dalam Komite Pengawasan dan Akuntabilitas BPI Danantara tidak bersifat personal, tetapi merupakan bagian dari kebijakan institusi.
“Tidak bersifat personal tetapi tetap statusnya adalah secara institusi atau kelembagaan,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa KPK tidak akan menerima honor atau pembayaran apa pun dalam tugasnya mengawasi Danantara, sesuai dengan prinsip dan aturan internal lembaga.
“Kami juga tidak akan menerima honor, pembayaran dalam bentuk apa pun,” tegas Setyo.
KPK saat ini masih mengkaji efektivitas keikutsertaannya dalam struktur pengawasan Danantara, guna memastikan bahwa peran lembaga tersebut tidak hanya formalitas, tetapi efektif dalam menjaga akuntabilitas dan mencegah korupsi dalam pengelolaan aset negara.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak juga menegaskan dukungan KPK terhadap pengelolaan keuangan negara yang bersih dan akuntabel.
“Kami support kementerian sekarang ini, lembaga yang ada agar benar-benar kekayaan negara ini dapat dikelola dengan baik,” pungkas Tanak. (Red)