DPR BAHAS PEMBATASAN KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN KORUPSI, PUBLIK CURIGA ADA INTERVENSI MAFIA?

484954304 9225321670851022 8112157347604244644 n
9 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Senin, 24 Maret 2025. Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menjadi sorotan tajam. Salah satu isu yang paling mencolok adalah adanya upaya menghapus kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan. Dalam draf RKUHAP terbaru, terutama Pasal 6 ayat (1), kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Kejaksaan hanya terbatas pada perkara pelanggaran HAM berat. Sementara itu, penyidikan dalam kasus lain, termasuk korupsi, dihapuskan.

Publik pun bertanya-tanya, mengapa institusi yang selama ini dianggap paling sukses dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar justru hendak dilucuti kewenangannya? Kejaksaan Agung dalam beberapa tahun terakhir telah berhasil membongkar skandal besar, seperti korupsi di PT Timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun, skandal BLBI dengan kerugian Rp 138 triliun, serta kasus korupsi di PT Asabri, PT TPPI, dan Duta Palma yang masing-masing menelan kerugian puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Terbaru, Kejaksaan tengah menyidik dugaan korupsi di Pertamina yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun. Kasus ini disinyalir melibatkan mafia minyak yang selama puluhan tahun tidak tersentuh hukum. Apakah ini alasan utama mengapa kewenangan Kejaksaan hendak dipangkas?

Serangan Balik Mafia?

Pembahasan RKUHAP yang dilakukan secara tertutup semakin memicu kecurigaan publik bahwa ada kekuatan besar di balik penghapusan kewenangan penyidikan Kejaksaan. Beberapa kalangan menilai bahwa ini merupakan strategi serangan balik dari mafia yang selama ini terusik oleh keberhasilan Kejaksaan dalam membongkar skandal korupsi kelas kakap.

Jika benar demikian, Presiden Prabowo Subianto harus segera turun tangan untuk memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi tetap berjalan dengan maksimal. Jika revisi KUHAP benar-benar menghapus kewenangan Kejaksaan dalam menyidik korupsi, hal ini dapat melemahkan komitmen pemerintah dalam memberantas praktik korupsi yang telah mengakar di Indonesia.

Kekacauan Hukum Jika Kewenangan Kejaksaan Dihapus

Secara hukum, kewenangan Kejaksaan dalam menyidik korupsi telah diatur dalam berbagai regulasi, antara lain Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, serta Pasal 39 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No.28/PUU-XXI/2023 telah menegaskan bahwa kewenangan jaksa dalam menyidik kasus korupsi adalah konstitusional. Jika KUHAP baru menghapus ketentuan ini, akan terjadi disharmoni hukum yang dapat memperlemah sistem penegakan hukum di Indonesia.

Pro dan Kontra: Kejaksaan Superpower atau Efisiensi Penegakan Hukum?

Pembahasan RKUHAP ini memantik perdebatan panas di kalangan akademisi, LSM, dan praktisi hukum. Mereka yang menolak kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan beralasan bahwa jaksa bisa menjadi “superpower” karena memiliki kewenangan menyidik sekaligus menuntut. Hal ini dianggap menghilangkan mekanisme checks and balances yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang.

Sebaliknya, pihak yang mendukung Kejaksaan tetap menjadi penyidik korupsi berpendapat bahwa praktik ini tidak bertentangan dengan sistem hukum internasional. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, jaksa tidak hanya memiliki kewenangan melakukan penuntutan, tetapi juga penyidikan, dengan FBI berada di bawah Jaksa Agung. Jepang, Jerman, hingga Rumania juga menganut sistem serupa, di mana penyidikan delik korupsi sepenuhnya menjadi kewenangan Kejaksaan.

Solusi: Reformasi Penegakan Hukum yang Lebih Efektif

Indonesia saat ini memiliki tiga institusi yang berwenang menyidik korupsi: Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Namun, model ini dinilai kurang efektif. Singapura, yang memiliki tingkat korupsi sangat rendah, hanya mengandalkan satu lembaga khusus, yaitu Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Efektivitas pemberantasan korupsi di Singapura lebih banyak bertumpu pada aspek pencegahan, bukan sekadar penindakan.

Selain itu, salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah duplikasi penanganan perkara antara Kejaksaan dan Kepolisian. Masyarakat sering mengeluhkan dipanggil berkali-kali oleh penyidik dari institusi yang berbeda untuk perkara yang sama, yang akhirnya tetap dihentikan karena kurangnya bukti baru. Kondisi ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan saksi maupun tersangka yang mengalami tekanan psikologis akibat pemeriksaan berulang-ulang.

Sebenarnya, pada tahun 2012, telah dibuat kesepakatan antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK untuk menghindari duplikasi penanganan perkara korupsi. Namun, dalam praktiknya, kesepakatan ini sering dilupakan sehingga masih terjadi tumpang tindih dalam proses penyidikan.

Kesimpulan: Pemberantasan Korupsi Harus Berjalan dengan Integritas

Persoalan utama dalam pemberantasan korupsi bukan hanya soal kewenangan institusi mana yang berhak menyidik, tetapi juga soal integritas penegak hukum itu sendiri. Jika masing-masing institusi penegak hukum hanya sibuk mempertahankan kewenangannya tanpa menunjukkan integritas yang tinggi, maka yang terjadi bukan pemberantasan korupsi, melainkan perebutan pengaruh dan kepentingan.

Presiden Prabowo dan DPR harus memastikan bahwa revisi KUHAP tidak justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Jika memang harus ada perubahan dalam kewenangan penyidikan, maka yang paling penting adalah memastikan bahwa penegakan hukum tetap berjalan efektif dan transparan, tanpa ada kepentingan tersembunyi dari pihak-pihak yang ingin melindungi koruptor.

Wallahu’alam.

(Muh. Ahsan Thamrin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *