Aroma Skandal di Tubuh Inspektorat, Warga Minta Bupati Sukabumi Bertindak Tegas!

Untitled 1ddsg scaled
8 / 100

Kabupaten Sukabumi – Seputar Jagat News. Sabtu, 24 Mei 2025. Gelombang desakan dari masyarakat terhadap Bupati Sukabumi, Drs. H. Asep Japar, untuk mengevaluasi kinerja Inspektorat Daerah semakin menguat. Lembaga yang seharusnya menjadi pengawal utama transparansi dan akuntabilitas pemerintahan daerah ini justru diduga terlibat dalam praktik-praktik mencurigakan yang merusak kepercayaan publik.

Sorotan tajam publik bermula dari mencuatnya dugaan penyalahgunaan dana desa di Desa Sinar Bentang, yang dilakukan oleh Kepala Desa berinisial SGN dan istrinya sejak tahun 2019 hingga 2024. Warga setempat mengungkapkan temuan-temuan serius yang mengindikasikan manipulasi pelaporan kegiatan desa.

Seorang warga Desa Sinar Bentang, GT, kepada awak media Seputarjagat News di Sagaranten, menyatakan bahwa bendahara desa berinisial E mengundurkan diri pada tahun 2024 usai Pilkada karena tak sanggup lagi memalsukan laporan keuangan. “Pengadaan dan kegiatan fiktif dibuat tampak sah secara administrasi, dibantu oleh Inspektorat agar tidak terdeteksi di aplikasi Siskeudes,” ungkap GT.

GT menambahkan bahwa dalam pemeriksaan akhir masa jabatan tahun 2023 oleh petugas Inspektorat berinisial H, IR, dan satu orang lainnya, ditemukan kerugian negara sebesar Rp40 juta. Namun, setelah adanya “lobi-lobi” oleh Kades SGN, nilai kerugian tersebut berubah menjadi hanya Rp4 juta. “Untuk itu, Kades memberikan imbalan sebesar Rp6 juta kepada pihak Inspektorat,” lanjut GT.

Keterangan mengejutkan juga disampaikan oleh perangkat desa berinisial W, yang menyebutkan bahwa imbas dari pemeriksaan tersebut memaksa 11 desa lainnya di Kecamatan Sagaranten mengeluarkan dana Rp5 juta per desa untuk menyelesaikan masalah serupa.

Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kepala Inspektorat Sukabumi H. Komarudin hanya menjawab singkat:

“Nanti ya, saya periksa dulu timnya siapa. Tolong minta nama jelasnya. Karena pada saat itu tidak ada surat perintah untuk pemeriksaan ke sana.”

Hal ini memunculkan pertanyaan baru: siapa sebenarnya oknum yang mengatasnamakan Inspektorat, melakukan pemeriksaan tanpa surat tugas, dan menerima dana dari desa-desa tersebut?

Tak hanya kasus di desa, Inspektorat juga diduga bermasalah dalam penanganan dugaan penyalahgunaan dana PKBM Bahtera yang dipimpin oleh LS, seorang ASN yang kini menjabat Sekretaris Camat Cikakak. LS diduga telah menyalahgunakan dana PKBM sebesar Rp500 juta dari tahun 2019 hingga 2023.

Seorang sumber berinisial D mengungkapkan bahwa LS mengaku telah memberikan uang Rp150 juta kepada dua orang berinisial SRP dan GL di sebuah rumah makan di kawasan Lingkar Luar. “Uang itu diberikan agar hasil pemeriksaan Inspektorat bisa dimanipulasi,” ujar D.

Namun setelah dua minggu tidak ada kepastian, LS disebut meminta uangnya kembali. D juga menyebut adanya keterlibatan suruhan penyidik yang selalu berada di kantor tersebut berinisial SIN dan Can yang menawarkan untuk “mengatur” hasil audit agar kerugian negara yang semula Rp500 juta bisa dikurangi menjadi Rp70 juta. Akhirnya uang tersebut dikembalikan karena D menolak terlibat dalam dugaan praktik suap.

Fakta yang lebih mengejutkan, meski tersangkut kasus dana PKBM, LS tetap berhasil dilantik sebagai Sekretaris Camat di Kecamatan Cikakak.

Ketika dimintai konfirmasi lebih lanjut mengenai siapa tim auditor dalam kasus PKBM Bahtera, hingga berita ini diterbitkan, Kepala Inspektorat Komarudin belum memberikan tanggapan apapun.

Inspektorat Kabupaten Sukabumi pun diduga melanggar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) karena tidak memberikan informasi hasil pemeriksaan kepada masyarakat. Sesuai Pasal 11 UU KIP, badan publik seperti Inspektorat berkewajiban menyediakan informasi terkait hasil pengawasan dan pemeriksaan.

Namun, sampai saat ini hasil audit mengenai dugaan penyimpangan di Desa Sinar Bentang maupun PKBM Bahtera belum juga diumumkan secara terbuka.

Masyarakat pun mempertanyakan integritas dan transparansi lembaga Inspektorat yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantas penyimpangan. Kasus ini menambah daftar panjang polemik tata kelola pemerintahan daerah yang dinilai jauh dari prinsip akuntabilitas publik.

(DS/RD)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *