Aliansi PKTA Desak Presiden Prabowo Hentikan Kebijakan Pengiriman Anak ke Barak Militer oleh Dedi Mulyadi

1390193 720
7 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk menerima pendidikan disiplin menuai kecaman tajam dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA), yang mendesak Presiden terpilih Prabowo Subianto agar segera turun tangan menghentikan program tersebut.

Aliansi PKTA menilai bahwa pendekatan disipliner berbasis militer bukan hanya tidak tepat diterapkan pada anak-anak, tetapi juga melanggar hak anak serta bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak, baik dalam hukum nasional maupun internasional.

“Mengirim anak ke barak TNI untuk didisiplinkan tidak sesuai dengan pendekatan perlindungan anak yang holistik. Ini tidak hanya melanggar hak anak, tapi juga memperkuat corak kekerasan yang tidak menyentuh akar permasalahan,” tegas pernyataan resmi Aliansi PKTA pada Minggu, 4 Mei 2025.

Aliansi ini mendesak Prabowo, sebagai presiden terpilih dan tokoh militer yang disegani, untuk memberi instruksi kepada jajaran pemerintah pusat dan daerah agar menggunakan pendekatan yang ramah anak dalam menangani siswa dengan perilaku menyimpang. Mereka menekankan pentingnya memahami bahwa perilaku antisosial pada anak bukanlah hasil dari keputusan individu semata, melainkan akibat dari berbagai faktor yang meliputi kondisi keluarga, lingkungan sosial, sistem pendidikan, hingga pengaruh teman sebaya.

Aliansi PKTA juga menyoroti potensi bahaya yang sangat besar dari pelibatan institusi militer dalam pendidikan karakter anak. Merujuk pada data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mereka menyampaikan bahwa dalam kurun waktu Oktober 2023 hingga September 2024, terjadi 64 kasus kekerasan yang dilakukan TNI terhadap warga sipil. Di antara korban, terdapat anak-anak di bawah umur, termasuk kasus tragis MHS — seorang remaja yang tewas setelah dianiaya oleh anggota TNI saat terjadi tawuran.

“Dengan catatan kekerasan seperti itu, sangat tidak tepat menjadikan institusi militer sebagai tempat pembinaan anak. Pola kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebih justru membahayakan psikologis anak,” kata Aliansi PKTA.

Lebih lanjut, mereka memperingatkan bahwa pendekatan militeristik dapat memicu stigmatisasi terhadap anak. Penempatan anak di barak militer akan memperkuat label “anak nakal” dan menciptakan cap negatif yang bisa berdampak jangka panjang terhadap psikososial anak.

Aliansi menyampaikan bahwa solusi yang lebih tepat terletak pada penguatan peran keluarga, lingkungan, dan institusi pendidikan. Mereka mendorong optimalisasi program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai bagian dari sistem intervensi yang ramah anak. Melalui program ini, orang tua dapat dilatih untuk menangani perilaku anak secara tepat dan manusiawi.

Program semi-militer bagi siswa bermasalah ini sudah mulai dilaksanakan sejak Kamis, 1 Mei 2025. Dua daerah pertama yang dijadikan lokasi pelaksanaan adalah Purwakarta dan Bandung. Berdasarkan data sementara, sedikitnya 69 pelajar dari jenjang sekolah menengah pertama telah dikirim ke barak militer untuk mengikuti program tersebut.

Gubernur Dedi Mulyadi menyatakan bahwa program ini bertujuan untuk membentuk karakter anak dan menanamkan kedisiplinan. Namun, kriteria seleksi serta parameter keberhasilan dari program ini masih belum dijelaskan secara rinci kepada publik, yang memunculkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran hak anak.

Aliansi PKTA menutup pernyataannya dengan seruan kepada seluruh pihak, khususnya pemerintah pusat, agar mengedepankan pendekatan berbasis hak anak dan tidak mengulang praktik yang berisiko menimbulkan trauma jangka panjang bagi generasi muda. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *