Jakarta – Seputar Jagat News. Tim penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami kasus dugaan suap dalam vonis lepas tiga korporasi raksasa sawit, yakni Musim Mas Group, Wilmar Group, dan Permata Hijau Group. Pada Rabu (23/4/2025), penyidik memeriksa sejumlah saksi kunci, termasuk tim legal dari ketiga perusahaan tersebut.
Salah satu saksi yang diperiksa adalah MLD, anggota tim legal dari Musim Mas Group. Selain itu, dua nama lainnya juga turut diperiksa, yakni SMA selaku manajer litigasi dari Wilmar Group dan MY dari tim legal Permata Hijau Group. Pemeriksaan ini dilakukan di Gedung Bundar Kejagung, dalam kapasitas mereka sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi suap dan/atau gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
“Pemeriksaan terhadap saksi-saksi ini bertujuan untuk memperkuat alat bukti dan melengkapi berkas perkara dalam kasus yang tengah kami tangani,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, dalam keterangannya.
Tak hanya dari kalangan internal korporasi, penyidik juga memeriksa empat orang saksi lainnya dari sebuah firma hukum berinisial AALF. Keempat saksi itu adalah TCU, HSKN, JBM, dan MAN, yang diperiksa dalam kapasitasnya sebagai anggota firma tersebut. Total terdapat tujuh orang saksi yang dimintai keterangan dalam penyidikan lanjutan kasus ini.
Kasus ini bermula dari dugaan suap-gratifikasi senilai Rp60 miliar yang diberikan kepada sejumlah hakim, dengan tujuan agar Musim Mas Group, Wilmar Group, dan Permata Hijau Group dijatuhi vonis lepas dalam perkara korupsi izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Uang tersebut disebut berasal dari Muhammad Syafei (MS), perwakilan dari Wilmar Group, dan disalurkan melalui tersangka Ariyanto Bakri (AR) serta Marcella Santoso (MS).
Dana itu kemudian diterima oleh Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus dan kini menjabat Ketua PN Jaksel. Setelah menerima uang suap, MAN memberikan sebagian dana senilai USD50.000 kepada Wahyu Gunawan (WG), panitera muda perdata di PN Jakarta Utara.
Selanjutnya, MAN menunjuk tiga hakim untuk memeriksa perkara korporasi tersebut: Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharuddin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM). Untuk memastikan ketiganya bersedia mengadili perkara itu, MAN memberikan uang awal sebesar Rp4,5 miliar — masing-masing hakim menerima Rp1,5 miliar.
Tidak berhenti di situ, selama proses persidangan, MAN kembali menggelontorkan dana tahap kedua sebesar Rp18 miliar. Uang tersebut dibagikan kepada para hakim sebelum mereka menjatuhkan putusan. Akhirnya, pada 19 Maret 2025, ketiga hakim tersebut menjatuhkan vonis lepas kepada ketiga korporasi.
Putusan ini tentu menuai sorotan publik, mengingat sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut ketiga perusahaan tersebut agar dinyatakan bersalah serta membayar pidana pengganti kerugian negara dan perekonomian nasional dengan total nilai fantastis. JPU menuntut Wilmar Group mengganti kerugian senilai Rp11,88 triliun, Permata Hijau Group Rp935,5 miliar, dan Musim Mas Group Rp4,98 triliun.
Namun dengan adanya vonis lepas dari para hakim, ketiga perusahaan itu dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam kasus izin ekspor CPO, menggugurkan seluruh tuntutan tersebut.
Kasus ini kini menjadi salah satu fokus utama Kejagung, mengingat dampaknya yang sangat besar terhadap integritas sistem peradilan dan kerugian negara dalam sektor industri strategis seperti kelapa sawit. (Red)