Jakarta – Seputar Jagat News. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan penghapusan dua jenis alat bukti dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yakni bukti petunjuk dan keterangan ahli. Usulan ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 17 Juni 2025.
Refa menilai keterangan ahli seharusnya tidak lagi dijadikan alat bukti yang berdiri sendiri, melainkan cukup disampaikan dalam bentuk tertulis dan masuk sebagai bagian dari bukti surat. Sementara itu, keberadaan bukti petunjuk dianggap berbahaya karena bisa dimanfaatkan untuk mengarahkan keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan, terutama ketika alat bukti lainnya tidak mampu mengungkap pelaku secara jelas.
“Terkait alat bukti, kami hanya menawarkan atau mengajukan empat alat bukti. Yang pertama keterangan saksi, kedua bukti surat, ketiga bukti elektronik, dan keempat keterangan terdakwa,” ungkap Refa di hadapan anggota Komisi III DPR.
Refa menyoroti potensi penyalahgunaan bukti petunjuk oleh aparat penegak hukum. Ia menilai bukti ini dapat dijadikan “pegangan berbahaya” bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman meski alat bukti lainnya tidak kuat.
“Bukti petunjuk ini sangat berbahaya karena dapat digunakan dalam rangka menambah keyakinan hakim, saat alat bukti lain tidak menunjukkan siapa pelakunya. Maka bukti petunjuk ini berbahaya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penyidik seharusnya mencari alat bukti langsung untuk mengungkap pelaku tindak pidana, bukan bergantung pada tafsir atau kesimpulan tidak langsung seperti petunjuk.
“Kalau petunjuk itu bisa lebih luas dan bisa disalahgunakan, apalagi ketika dijadikan satu-satunya dasar untuk menghukum seseorang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Refa juga menyatakan keberatan terhadap penggunaan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam proses peradilan. Ia menilai keterangan ahli selama ini tidak diperlakukan secara adil oleh penegak hukum, terutama jika diajukan oleh pihak penasihat hukum.
“Ahli ini tidak ada kejelasan. Kalau diajukan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum, pasti diterima oleh hakim. Tapi kalau diajukan oleh penasihat hukum, seringkali diabaikan, kecuali jika keterangannya menguntungkan pihak penuntut,” keluhnya.
Menurutnya, hal ini mencerminkan adanya ketimpangan dalam sistem peradilan, yang seharusnya memberikan perlakuan yang setara terhadap semua alat bukti, tanpa memandang siapa yang mengajukannya.
Sebagai solusi, Refa menyarankan agar keterangan ahli cukup diberikan secara tertulis tanpa perlu dihadirkan dalam persidangan. Dengan begitu, keterangan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bukti surat, bukan alat bukti tersendiri, dan mengurangi potensi ketimpangan penilaian dari hakim.
“Kalau memang keterangan ahli diperlukan dalam sebuah perkara pidana, cukup disampaikan dalam bentuk tertulis. Itu sudah cukup menjadi bukti surat,” ujar Refa.
Ia juga menekankan bahwa ketidakadilan dalam penerimaan keterangan ahli selama ini menambah beban bagi pencari keadilan, terutama ketika pembelaan hukum tidak memiliki bobot yang sama dengan tuntutan dari pihak penuntut umum.
Dengan usulan ini, Peradi berharap RKUHAP dapat memperkuat sistem pembuktian yang objektif dan adil, sekaligus meminimalisir potensi penyalahgunaan alat bukti dalam proses hukum.
Rapat RDPU tersebut menjadi bagian dari proses legislasi RKUHAP yang tengah dibahas oleh DPR RI bersama berbagai pihak, termasuk akademisi, organisasi profesi, dan praktisi hukum. (Red)