Sidang Suap Dinas PUPR Kalsel: Tangis Yulianti Pecah, Dua Terdakwa Minta Bebas, Dua Lainnya Mohon Keringanan

Screenshot 2025 06 26 092010
7 / 100

Banjarmasin – Seputar Jagat News. Sidang lanjutan perkara dugaan suap dan gratifikasi di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Kalimantan Selatan kembali digelar pada Rabu (26/6/2025) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin. Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan nota pembelaan atau pledooi dari keempat terdakwa.

Dalam sidang tersebut, keempat terdakwa yang terdiri dari H Akhmad, Agustya Febri, Akhmad Solhan, dan Yulianti Erlynah menyampaikan berbagai pembelaan. Dua di antaranya memohon pembebasan, sementara dua lainnya memohon keringanan hukuman.

Dua terdakwa pertama, H Akhmad dan Agustya Febri, melalui kuasa hukum masing-masing, secara tegas meminta agar dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK). Keduanya berdalih bahwa mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana suap atau gratifikasi yang dituduhkan.

Dr. HM Sabri Noor Herman, SH, MH, selaku penasihat hukum H Akhmad, menjelaskan bahwa kliennya adalah seorang pengurus pondok pesantren dan sama sekali tidak mengetahui keberadaan uang yang disebutkan dalam dakwaan. Ia juga menekankan bahwa dalam kasus suap atau gratifikasi, tidak dapat diterapkan pasal turut serta (Pasal 55 KUHP) seperti yang digunakan dalam dakwaan.

“Terdakwa H Akhmad hanya berada di lingkungan pondok pesantren, dan tidak pernah terlibat dalam pengelolaan proyek atau anggaran,” ujarnya.

Sementara itu, Dr. Zulhadi Safitri Noor, SH, MH, kuasa hukum Agustya Febri, menyatakan bahwa kliennya hanya menerima titipan uang, tanpa memiliki jabatan atau kekuasaan yang bisa mempengaruhi proyek pemerintah.

“Pasal turut serta yang dikenakan sangat tidak tepat karena klien kami tidak memiliki kewenangan apa pun dalam perkara ini,” tegas Zulhadi.

Berbeda dengan dua terdakwa pertama, Yulianti Erlynah memilih mengakui kesalahannya dan memohon keringanan hukuman. Dalam pembacaan pledooinya yang dilakukan sendiri, Yulianti tak kuasa menahan tangis saat menyampaikan penyesalannya di hadapan majelis hakim.

“Saya mengaku bersalah dan sangat menyesal atas keteledoran saya. Saya hanya menjalankan perintah atasan dan tidak menikmati uang tersebut,” ujar Yulianti sambil terisak.

Ia juga mengungkapkan bahwa praktik penerimaan uang di lingkup Dinas PUPR sudah menjadi kebiasaan lama yang tidak pernah dikoreksi oleh pemerintah provinsi maupun inspektorat. Yulianti meminta hukuman seringan-ringannya dan menyebut bahwa tuntutan 4 tahun 6 bulan penjara serta denda besar dari KPK sangat memberatkan dirinya.

Terdakwa keempat, Ahmad Solhan, juga mengakui kesalahannya, meski menekankan bahwa kesalahan itu dilakukan tanpa niat jahat (mens rea). Melalui penasihat hukumnya, Muhammad Lutfi Hakim, Solhan memohon agar majelis hakim memberikan hukuman yang adil dan proporsional.

“Kami tidak meminta bebas, hanya keringanan. Kalau dihukum 4 tahun penjara tanpa denda, kami menerima,” ujar Lutfi.

Terkait tuntutan uang pengganti sebesar Rp 16 miliar subsider 4 tahun penjara, pihak Solhan meminta keringanan agar hanya dikenakan pengembalian sebesar Rp 309 juta subsider 3 bulan kurungan. Lutfi beralasan bahwa uang tersebut sebagian besar sudah diserahkan kepada pihak lain, termasuk digunakan untuk kegiatan keagamaan.

“Tidak ada bukti bahwa uang Rp 16 miliar itu digunakan Solhan untuk kepentingan pribadi. Bahkan, tidak ada uang yang disita dari rumahnya,” jelas Lutfi. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *