Jakarta — Seputar Jagat News. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan kekhawatirannya terhadap stagnasi penanganan kasus dugaan korupsi di tubuh PT Pertamina (Persero). Ia menduga, kasus besar ini terhambat oleh kekuatan besar, termasuk jaringan oligarki, hingga memunculkan langkah tidak biasa: pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengawasan penegakan hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan Mahfud saat menjadi narasumber di acara Rosi Kompas TV, Sabtu (17/5/2025). Menurutnya, meski Kejaksaan Agung saat ini menjadi institusi penegak hukum dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi dibanding KPK dan Polri, hal itu tidak serta-merta membuat proses penegakan hukum bebas dari hambatan.
“Masih ada saja yang tidak bersih. Tapi mungkin ini institusi yang dinilai paling sedikit dosanya,” ujar Mahfud.
Mahfud menyoroti kasus korupsi Pertamina yang sebelumnya ditangani secara agresif oleh Kejaksaan Agung, namun kini terasa macet tanpa perkembangan berarti. Ia mengingat kembali ketika beberapa nama seperti “X, Y, Z” sudah disebut sebagai target dalam proses penyidikan.
“Waktu itu kita bangga sekali ya. Pokoknya Kejaksaan sikat sampai ke atas. Tapi sekarang? Tidak ada pergerakan. Padahal sudah disebut nama-namanya,” kata Mahfud.
Ia menduga ada kekuatan besar yang menjadi penghambat utama, termasuk kemungkinan keterlibatan jaringan oligarki dan aktor-aktor kuat yang memiliki pengaruh di berbagai sektor.
Mahfud pun mengaitkan kondisi ini dengan munculnya wacana pelibatan TNI dalam mendampingi Kejaksaan Agung. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto bisa saja menilai bahwa keterlibatan militer diperlukan karena hambatan yang dihadapi institusi hukum sipil terlalu besar.
“Mungkin Presiden merasa ini harus TNI yang turun. Ada kekuatan yang mengatur mafia, mungkin itu sebabnya Presiden melihat perlu terobosan,” katanya.
Meski secara hukum dan konstitusi Mahfud menyatakan tidak setuju jika TNI menjaga Kejaksaan secara permanen, namun ia bisa memaklumi langkah ini sebagai tindakan darurat untuk melawan kebuntuan.
“Kalau pakai logika ‘daripada macet’, saya maklumi ini sebagai satu terobosan. Tapi tetap, saya tidak bilang ini benar menurut undang-undang,” tegasnya.
Dalam paparannya, Mahfud menyebut dua jenis hambatan besar dalam penegakan hukum di Indonesia:
Aparat penegak hukum yang justru membekingi kegiatan ilegal, seperti premanisme, pertambangan ilegal, dan perampasan tanah adat.
Kekuatan oligarki yang berfungsi sebagai pengatur jaringan mafia dan pembeking kekuasaan.
“Kalau sudah menyangkut oligarki tertentu, hukum bisa tidak jalan. Saya kira ini yang dilihat Presiden,” ujar Mahfud.
Ia pun menyebut keberadaan Perpres 63 sebagai “kunci Inggris”, sebuah metafora atas solusi sementara dalam penanganan kebuntuan hukum.
“Mungkin, saya tidak tahu. Tapi masyarakat masih bertanya-tanya. Dan Presiden belum bicara secara terbuka soal ini,” tambahnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung sempat memeriksa 18 saksi dalam kasus dugaan korupsi di Pertamina, termasuk mantan Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati, dan mantan Dirut periode 2009-2014, Karen Agustiawan.
Pada 14 Mei 2025 lalu, penyidik memeriksa ABP, manajer di PT Pertamina Patra Niaga tahun 2022, sebagai bagian dari pengusutan dugaan penyimpangan di perusahaan energi milik negara tersebut.
Namun, setelah gelombang pemeriksaan itu, tidak ada lagi perkembangan signifikan yang dipublikasikan, baik berupa penetapan tersangka baru maupun ekspose temuan penyidikan. Hal inilah yang memicu spekulasi dan kritik dari Mahfud MD, sekaligus kekecewaan dari masyarakat.
Mahfud berharap agar Presiden segera bersuara secara terbuka dan menjelaskan langkah-langkah yang diambil terkait stagnasi dalam penegakan hukum ini.
“Kalau Presiden bicara, masalahnya selesai. Kalau tidak disuruh Presiden, kan tidak boleh menurut undang-undang,” katanya.
Ia menegaskan bahwa keterlibatan TNI memang tidak bisa dibenarkan menurut sistem hukum yang berlaku. Namun, dalam kondisi darurat ketika hukum macet karena tekanan politik atau oligarki, ia bisa memahami langkah tersebut sebagai bentuk “tekanan balik” terhadap kekuatan besar yang membekingi kejahatan korupsi. (Red)