KPK Ungkap Kerugian Negara Rp 1,7 Triliun Akibat Korupsi Kredit LPEI

68b04b26a193e 1
8 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan dugaan praktik korupsi fasilitas kredit yang diberikan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada dua perusahaan, yakni PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) dan PT Mega Alam Sejahtera (MAS). Akibat praktik ini, negara diperkirakan mengalami kerugian mencapai Rp 1,7 triliun.

“Berdasarkan penghitungan awal oleh penyidik, perkara ini diduga telah merugikan keuangan negara mencapai Rp 1,7 triliun,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (28/8/2025).

Dalam proses penyidikan, KPK telah menyita sejumlah aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tersebut. Barang bukti yang disita berupa uang tunai, tanah dan bangunan, kendaraan mewah, perhiasan, tas branded, hingga barang mewah lainnya dengan nilai total sekitar Rp 540 miliar.

KPK menetapkan Hendarto, pemilik PT SMJL dan PT MAS, sebagai tersangka baru dalam kasus ini. Asep menjelaskan bahwa kasus bermula ketika PT SMJL dan PT MAS mengajukan pencairan fasilitas kredit ke LPEI.

Dalam proses pengajuan, Hendarto bertemu dengan Kukuh Wirawan, Kepala Divisi Pembiayaan I LPEI, serta Dwi Wahyudi, Direktur Pelaksana I LPEI, untuk memuluskan pencairan dana. Dwi kemudian memerintahkan Kukuh agar memproses pembiayaan melalui manipulasi pengajuan Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP) untuk perusahaan milik Hendarto.

Berdasarkan catatan KPK, PT SMJL dan PT MAS berhasil memperoleh fasilitas kredit dengan nilai yang sangat besar:

  • PT SMJL
    • Kredit Investasi Ekspor (KIE) senilai Rp 950 miliar pada periode Oktober 2014 – Oktober 2015, dengan dalih refinancing kebun kelapa sawit seluas 13.075 hektare di Kapuas, Kalimantan Tengah.
    • Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) sebesar Rp 115 miliar untuk refinancing kebun sawit.
  • PT MAS
    • Pada April 2015, mendapat fasilitas kredit senilai USD 50 juta (sekitar Rp 670 miliar berdasarkan kurs saat itu).

Namun, KPK menemukan kejanggalan besar dalam pencairan kredit tersebut. Lahan sawit milik PT SMJL ternyata berada di kawasan hutan lindung, tanpa izin resmi maupun Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU).

“Bahwa dalam pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT SMJL diketahui adanya niat jahat (mens rea), baik dari pihak debitur maupun kreditur,” tegas Asep.

Sementara itu, PT MAS dinilai tidak layak memperoleh pinjaman USD 50 juta karena pada saat itu grup PT BJU sedang mengalami kesulitan keuangan akibat anjloknya harga batu bara. Risiko gagal bayar seharusnya menjadi pertimbangan utama.

Lebih memprihatinkan, dana hasil kredit dari LPEI tidak digunakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan temuan KPK, sebagian dana justru dipakai Hendarto untuk bermain judi online, membeli aset pribadi, hingga membiayai kebutuhan keluarga.

“Seharusnya dana tersebut digunakan untuk mendorong perekonomian sektor komoditas nasional, tetapi justru dipakai untuk judi. Informasi yang kami peroleh, sekitar Rp 150 miliar digunakan Hendarto untuk judi online,” ungkap Asep.

Atas perbuatannya, Hendarto disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ia resmi ditahan selama 20 hari, terhitung mulai 28 Agustus hingga 16 September 2025, di Rutan KPK Gedung Merah Putih.

Kasus dugaan korupsi ini bukan hanya menyeret Hendarto. Pada Maret 2025 lalu, KPK telah lebih dulu menetapkan lima tersangka lain, yakni:

  • Dwi Wahyudi, Direktur Pelaksana LPEI
  • Arif Setiawan, Direktur Pelaksana LPEI
  • Jimmy Masrin, pemilik PT Petro Energy
  • Newin Nugroho, Direktur Utama PT Petro Energy
  • Susy Mira Dewi, Direktur Keuangan PT Petro Energy

Mereka diduga melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara sebesar USD 60 juta atau sekitar Rp 900 miliar. (MP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *