Kontroversi Kerja Sama Kejagung dan Operator Telekomunikasi: Bolehkan Penyadapan Warga Sipil?

kerjasama kejagung dan operator seluler ratio 16x9 1
5 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Kerja sama yang baru saja dijalin antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan empat operator telekomunikasi besar di Indonesia memicu polemik publik. Tujuannya, mempermudah proses penyadapan demi mendukung penegakan hukum. Namun, langkah ini justru mengundang sorotan tajam dari koalisi masyarakat sipil yang menilai potensi pelanggaran terhadap hak privasi warga negara sangat besar.

Kejagung berdalih bahwa kerja sama tersebut diperlukan untuk mendukung penyidik dalam mengakses data dan informasi terbatas secara legal sesuai ketentuan perundang-undangan. Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Reda Manthovani, menjelaskan bahwa keberadaan MoU ini akan mempercepat pelacakan pelaku kejahatan, terutama buronan, melalui sinyal komunikasi dan rekaman pembicaraan secara real-time.

“Kolaborasi ini diatur dalam Pasal 30B UU Nomor 11 Tahun 2021, yang memberi kewenangan kepada intelijen kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan demi penegakan hukum,” tegas Reda dalam keterangannya, Rabu (25/6/2025).

Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil menilai kerja sama tersebut berisiko melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjamin perlindungan atas privasi individu. Mereka juga menilai nota kesepahaman antara Kejagung dan operator tidak memuat batasan waktu penyadapan, mekanisme izin, serta otorisasi secara ketat—yang semestinya menjadi bagian dari prinsip pembatasan hukum yang sah (permissible restriction).

“Penyadapan harus berdasarkan otorisasi resmi, umumnya dari Ketua Pengadilan, dengan durasi terbatas, pembatasan akses hasil penyadapan, dan jelas siapa saja yang boleh mengakses,” ujar perwakilan koalisi dalam rilis resmi, Kamis (26/6/2025). Koalisi tersebut terdiri dari lembaga seperti ICJR, ELSAM, HRWG, Imparsial, Raksha Initiatives, dan lainnya.

Mereka juga mengingatkan bahwa Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi secara eksplisit melarang kegiatan penyadapan tanpa dasar hukum yang sah. Tanpa memenuhi persyaratan prosedural tersebut, tindakan Kejagung dan operator telekomunikasi dinilai melanggar hukum dan konstitusi.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menggarisbawahi bahwa akses langsung Kejagung terhadap data telekomunikasi, tanpa mekanisme pengawasan ketat, membuka ruang penyalahgunaan terhadap hak warga negara.

“Risiko penyadapan tanpa izin pengadilan nyata. Ini berpotensi digunakan untuk memantau, membungkam, atau menekan oposisi, jurnalis, dan aktivis,” ungkap Nenden kepada Tirto.

Nenden menilai kerja sama tersebut juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), terutama soal transparansi, minimasi data, dan persetujuan eksplisit (consent) dari pemilik data.

“Masyarakat tidak diberi tahu durasi penyimpanan data, serta bagaimana data yang tidak lagi relevan akan dihapus. Ini rawan disalahgunakan jika hanya berdasar nota kesepahaman,” tambahnya.

Muhamad Saleh, peneliti CELIOS di bidang hukum dan regulasi, mengkritisi ketiadaan regulasi tunggal terkait penyadapan di Indonesia. Menurutnya, masing-masing lembaga penegak hukum berjalan dengan standar, SOP, dan mekanisme berbeda, menciptakan ruang ketidakpastian hukum.

“Polisi punya cara sendiri, KPK punya cara sendiri, dan sekarang Kejaksaan bikin model sendiri. Tanpa UU Penyadapan, ini rawan abuse karena tidak ada standar akuntabilitas yang seragam,” jelas Saleh.

Mengacu pada UU ITE dan UU Kejaksaan, Saleh menekankan bahwa penyadapan hanya boleh dilakukan untuk kepentingan hukum (pro justitia) dan harus dilandasi prosedur yang transparan dan akuntabel.

“Kalau tidak ada indikasi tindak pidana, tidak perlu ada penyadapan. Apalagi jika penyadapan dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat dan sah, itu berbahaya,” tegasnya.

Dalam konteks perlindungan data, Saleh mengingatkan bahwa operator telekomunikasi bukan pemilik data pengguna, melainkan hanya pengelola yang wajib tunduk pada UU PDP. Ia mengkritik langkah Kejaksaan menggandeng operator melalui MoU tanpa kejelasan hukum soal pengelolaan data.

“Operator tidak bisa serta merta memberikan data pelanggan karena mereka tidak punya otoritas absolut atas data tersebut. Harus ada dasar hukum yang jelas, bukan hanya nota kesepahaman,” ujarnya.

Sementara itu, Nenden menambahkan, operator wajib transparan kepada pengguna soal data yang dibagikan dan dasar hukumnya. “Harus jelas, data apa yang dibagikan, kepada siapa, dan atas dasar apa. Jika tidak ada keputusan pengadilan, maka penyadapan itu tidak sah,” tandasnya.

Koalisi masyarakat sipil mendesak Kejaksaan Agung untuk segera membatalkan kerja sama dengan operator telekomunikasi. Mereka menilai, nota kesepahaman itu bertentangan dengan Pasal 40 UU Telekomunikasi dan Pasal 1320 KUHPerdata soal keabsahan perjanjian.

Tak hanya itu, koalisi juga meminta Presiden dan DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Penyadapan yang akan menjadi regulasi induk penyadapan di Indonesia. Tujuannya, menjamin kepastian hukum serta melindungi hak atas privasi dan rasa aman warga negara.

“Harus ada regulasi penyadapan yang berlaku lintas lembaga, tidak berdasarkan diskresi penyidik atau kebutuhan organisasi semata. Tanpa regulasi, rakyat rentan disadap secara sewenang-wenang,” ujar perwakilan koalisi. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *