Kejaksaan Agung Siapkan 247 Jenis Sanksi Sosial untuk Perkara Ringan: Dari Mengajar Ngaji hingga Bantu Kantor Desa

Screenshot 2025 06 26 091808
9 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Dalam upaya memperkuat pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif, Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah merancang mekanisme penerapan sanksi sosial untuk penyelesaian perkara ringan. Gagasan progresif ini disampaikan oleh Plt. Wakil Jaksa Agung RI, Asep N. Mulyana, saat menjadi pembicara dalam seminar nasional yang digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Rabu (25/6/2025).

Menurut Asep, langkah ini merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana yang lebih humanis dan bertumpu pada penyelesaian konflik sosial secara damai. Sanksi sosial akan diberlakukan bagi pelaku pelanggaran ringan dalam masyarakat yang tidak menimbulkan kerugian besar, baik secara materiil maupun fisik.

“Kami di Jampidum (Jaksa Agung Muda Pidana Umum) sudah mengembangkan. Misalnya ada tetangga bersengketa gara-gara buah mangga jatuh ke pekarangan sebelah, lalu terjadi pertengkaran. Itu bisa kami damaikan. Tapi jika terjadi kekerasan, seperti memukul, maka pelaku tetap diberi sanksi sosial,” jelas Asep.

Asep menyebut Kejaksaan telah menyiapkan lebih dari 247 bentuk sanksi sosial yang akan digunakan sebagai alternatif hukuman bagi pelaku perkara ringan. Bentuk sanksi ini disesuaikan dengan latar belakang sosial, kemampuan, dan kondisi pelaku agar dapat memberikan efek jera sekaligus manfaat bagi masyarakat.

“Apa sanksi sosialnya? Banyak. Saat ini sudah ada 247 bentuk-bentuk sanksi sosial yang kami siapkan,” katanya.

Dalam seminar tersebut, Asep juga memaparkan sejumlah contoh penerapan sanksi sosial yang telah dilakukan di berbagai daerah. Salah satunya adalah seorang mahasiswa di Bali yang terlibat dalam pelanggaran hukum, namun memiliki latar belakang pendidikan agama. Jaksa kemudian menjatuhkan sanksi sosial berupa mengajar ngaji kepada anak-anak selama tiga hari.

“Ini bagian dari edukasi. Dia punya ilmu agama, jadi kami beri sanksi sosial yang sekaligus bermanfaat bagi lingkungan,” terang Asep.

Contoh lainnya adalah kasus dua perempuan yang terlibat perkelahian karena cemburu. Setelah proses mediasi dan perdamaian, pelaku diberi sanksi sosial berupa bekerja membantu administrasi di kantor desa.

“Ada juga perempuan karena cemburu saling jambak. Kita damaikan, dan sanksinya bantu-bantu di kantor desa,” tambahnya.

Asep menegaskan bahwa pendekatan ini bukan semata-mata untuk menghindari proses hukum, tetapi untuk membangun sistem penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan sosial, pemulihan hubungan antarwarga, serta pencegahan kriminalitas berulang. Ia berharap inisiatif ini mendapat dukungan luas dari masyarakat dan aparat penegak hukum di seluruh Indonesia.

Dengan ratusan bentuk sanksi sosial yang telah disiapkan, Kejaksaan Agung menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan hukum yang tidak hanya tegas, tetapi juga bijaksana dan mengedepankan pemulihan sosial. Upaya ini menjadi angin segar dalam reformasi hukum nasional, khususnya dalam penanganan perkara ringan yang selama ini kerap membebani sistem peradilan. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *