Kejagung Buka Opsi Sidang In Absentia untuk WNA Tersangka Korupsi Satelit Navayo

Screenshot 2025 06 21 092834
7 / 100

JAKARTA – Seputar Jagat News. Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI terus berlanjut. Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka kemungkinan menggelar sidang in absentia terhadap Gabor Kuti (GK), warga negara asing asal Hungaria yang juga menjabat sebagai CEO Navayo International AG. Ia telah berulang kali mangkir dari pemanggilan penyidik dalam proses hukum kasus korupsi proyek user terminal satelit slot orbit 123 BT yang terjadi pada tahun 2016.

Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) M Ali Ridho mengatakan perkara ini sudah naik ke tahap penyidikan. Sejumlah saksi dan tersangka telah dipanggil untuk dimintai keterangan, termasuk Gabor Kuti yang saat ini berada di luar negeri.

“Ya, di luar negeri juga sudah kita panggil. Tentunya dengan mekanisme formal melalui komunikasi antara biro hukum Kejagung dan Kementerian Luar Negeri,” ujar Ali Ridho kepada wartawan, Jumat (20/6/2025).

Gabor Kuti diketahui telah tiga kali dipanggil, namun tidak pernah hadir. Sesuai hukum acara pidana, jika panggilan keempat juga diabaikan, maka penyidik dapat melanjutkan proses hukum secara in absentia, yaitu persidangan tanpa kehadiran terdakwa.

“Yang penting kami sudah patut memanggil tersangka yang di luar negeri. Kalau hanya menunggu terus, enggak rampung-rampung. Kalau enggak datang-datang, enggak selesai-selesai perkara Navayo ini,” tegasnya.

Kasus ini tak hanya melibatkan hukum nasional, tetapi juga menyeret pemerintah Indonesia dalam sengketa arbitrase internasional. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia kalah gugatan di International Chambers of Commerce (ICC) Singapura dari pihak Navayo International AG dan Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD.

Akibat kekalahan itu, Kemhan RI dihukum membayar denda sebesar USD 103.610.427,89. Bahkan, pada 2022, pihak Navayo mengajukan permohonan eksekusi sita ke pengadilan Prancis untuk menyita aset-aset pemerintah Indonesia yang berada di Paris, termasuk rumah tinggal pejabat diplomatik RI.

“Penyitaan aset negara di luar negeri menyalahi Konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik. Pemerintah akan melakukan upaya hukum untuk menghambat eksekusi ini,” ujar Yusril.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pihak Navayo diduga hanya menyelesaikan pekerjaan senilai Rp 1,9 miliar, jauh dari nilai kontrak yang dijanjikan dengan Kemhan RI. Meski begitu, pemerintah tetap dijatuhi kewajiban membayar denda ratusan miliar akibat putusan arbitrase.

“Menurut BPKP, pekerjaan yang sudah dilakukan Navayo hanya Rp 1,9 miliar. Tapi karena kita kalah di arbitrase, kita harus membayar dalam jumlah yang sangat besar,” ujar Yusril prihatin.

Yusril juga mengungkapkan bahwa pihak Navayo telah beberapa kali dipanggil oleh Kejagung, baik sebagai saksi maupun tersangka, namun tidak pernah hadir.

“Pihak Navayo itu sudah berapa kali dipanggil oleh Kejaksaan Agung, tapi tidak kunjung hadir untuk diperiksa sebagai terperiksa maupun tersangka,” jelasnya.

Dalam konteks ini, langkah Kejagung untuk melakukan sidang in absentia menjadi solusi untuk mencegah stagnasi penanganan perkara. Sidang ini diharapkan tetap bisa mengungkap keterlibatan pihak-pihak terkait dalam dugaan korupsi pengadaan satelit yang telah menyeret nama Indonesia ke forum hukum internasional dan menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan aset negara di luar negeri. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *