Kabupaten Sukabumi – Seputar Jagat News. Minggu, 6 Juli 2025. Polemik mencuat di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Kepala Desa (Kades) Tangkil diduga keras telah melanggar aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Desa (Permendes) terkait pengelolaan program ketahanan pangan.
Permendesa PDTT Nomor 8 Tahun 2022 mengatur tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk Ketahanan Pangan Nabati dan Hewani. Selain itu, Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kepmendesa PDTT) Nomor 82 Tahun 2022 menetapkan Pedoman Ketahanan Pangan di Desa, yang bertujuan untuk mewujudkan kecukupan pangan, kemandirian pangan desa, dan mencegah kerawanan pangan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh awak media Seputarjagat News terkait anggaran ketahanan pangan di Desa Tangkil,
Dana desa yang diterima pada tahun 2023, dengan status desa maju sebesar Rp 1.588.720.000 yang seyogianya untuk ketahanan pangan 20% dari anggaran tersebut sebesar lebih kurang Rp 317.744.000. Namun anggaran yang dilaksanakan untuk kegiatan tersebut hanya untuk jalan usaha tani sebesar Rp 51.175.000,
Dari hal tersebut terdapat selisih anggaran yang tidak digunakan untuk kegiatan ketahanan pangan pada tahun 2023 sebesar Rp 266.569.000.
Sementara pada tahun 2024 dana desa yang diterima oleh Desa Tangkil sebesar Rp 1.339.175.000. Dari jumlah anggaran tersebut untuk kegiatan ketahanan pangan sebesar 20% = Rp 267.835.000,
Tetapi yang digunakan untuk jalan usaha tani sebesar Rp 44.091.000, dan jalan usaha tani yang di lokasi lainnya sebesar Rp 47.085.000.
Pada tahun 2024 tersebut terdapat anggaran yang tidak digunakan untuk ketahanan pangan sebesar Rp 176.659.000.
Namun sejumlah elemen masyarakat, yang tidak mau disebutkan namanya ketika dikonfirmasi oleh awak media, mengungkapkan bahwa dana tersebut digunakan tidak sesuai dengan ketentuan Permendes, tampaknya justru mulai kehilangan arah. Padahal Permendes disusun dengan semangat membangun desa dari pinggiran dan memastikan setiap rupiah dana desa digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun kenyataannya di lapangan berkata lain,” ujar dia.
“Kalau dibiarkan, ini bisa menjadi contoh buruk bagi desa-desa lain. Titik peran pembinaan dan pengawasan dari DPMD seharusnya aktif, bukan malah memberi ruang abu-abu,” tegasnya.
Di lain pihak, penggiat anti korupsi “SNW”, 4/7/2025, angkat bicara,
“Penyimpangan yang dibiarkan diduga terdapat praktik manipulasi dalam penyusunan RKPDes dan APBDes yang tidak sesuai dengan Permendes, dan juga dugaan adanya kegiatan fiktif, penggelembungan anggaran, hingga program-program prioritas yang justru dikesampingkan mulai terungkap.
Diduga Permendes itu cuma jadi pajangan. Di lapangan, realisasinya beda jauh.
DPMD dinilai lemah dan tak bertaji. Yang lebih mengejutkan, adalah dugaan pembiaran oleh DPMD, lembaga yang seharusnya melakukan pembinaan dan pengawasan, justru dinilai lemah atau bahkan sengaja membiarkan pelanggaran demi ‘kepentingan tertentu’,” kata SNW.
Lebih lanjut dia mengatakan, “Buat apa Permendes dibuat, jika pada akhirnya disimpangkan dan tidak ada pengawasan yang tegas,” imbuhnya.
Sementara di sisi lain, pengamat kebijakan publik berinisial DON menyebut bahwa fenomena ini adalah bentuk dari lemahnya political will dan sistem pengawasan. “Kalau regulasi tidak didukung oleh sistem yang kuat dan pengawasan yang aktif, maka ia hanya jadi dokumen mati. Desa-desa bisa berjalan dengan logika kekuasaan, bukan logika aturan,” katanya.
Desakan evaluasi dan audit independen sejumlah tokoh masyarakat mulai mendorong agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Permendes di desa-desa bermasalah. Bahkan, audit independen dari BPK dan Inspektorat diusulkan agar penyimpangan tidak terus meluas.
“Kami tidak ingin pembangunan desanya jadi jargon politik. Harus ada tindakan nyata,” tegas seorang perwakilan masyarakat berinisial R.
Jika penyimpangan pelaksanaan Permendes terus terjadi dan pengawasan dibiarkan tumpul, maka kepercayaan publik terhadap program dana desa akan runtuh. Yang paling dirugikan tentu adalah masyarakat desa sendiri, mereka yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
(DS/Jen)