Sorong – Seputar Jagat News. Minggu, 15 Desember 2024. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat telah menetapkan dua tersangka utama dalam kasus dugaan korupsi Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera Tapak Fasilitas Likuiditas Pembayaran Perumahan (KPR-FLPP), yang merugikan negara sebesar Rp 44,8 miliar. Tersangka tersebut adalah Kepala Cabang Bank Papua Kumurkek, yang berinisial HPL, dan Direktur PT Jaya Molek Perkasa, SDA, yang juga terlibat dalam pengelolaan dana subsidi dari Kementerian Perumahan Rakyat (PUPR) tersebut.
Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Papua Barat, Abun Hasbulloh Syambas, dalam keterangannya pada Jumat (13/12/2024), menyatakan bahwa tindakan korupsi ini terjadi pada periode 2016-2017, di mana dana KPR-FLPP yang disalurkan kepada Bank Papua kantor pembantu Kumurkek di Maybrat tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. “Dana KPR-FLPP yang diterima oleh Bank Papua Kumurkek merupakan subsidi dari Kementerian PUPR. Dana tersebut seharusnya disalurkan dengan melalui analisis dan verifikasi yang ketat terhadap calon penerima,” jelas Abun.
Namun, lanjut Abun, dalam praktiknya, meskipun sebagian pembangunan perumahan oleh PT Jaya Molek Perkasa yang dipimpin oleh SDA belum selesai sepenuhnya, pihak Bank Papua yang dipimpin oleh HPL tetap memberikan persetujuan kredit dan membayarkan dana KPR-FLPP kepada pihak developer. “SDA membangun perumahan sebanyak 386 unit di Kota Sorong, namun hanya 240 unit yang benar-benar siap huni. Meski demikian, tersangka HPL tetap memberikan persetujuan kredit, dan dana KPR-FLPP telah dibayarkan kepada SDA,” ungkapnya tegas.
Proses penyidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa perbuatan kedua tersangka tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 44.831.508.890. Berdasarkan bukti yang ada, perbuatan para tersangka tersebut melanggar ketentuan yang berlaku dan merugikan keuangan negara dalam jumlah yang signifikan.
Sebagai akibat dari tindakannya, kedua tersangka kini dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut, kedua tersangka terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Dalam perkembangan terbaru, Kejati Papua Barat telah melakukan penahanan terhadap HPL dan SDA. Penahanan ini dilakukan dengan alasan tersangka disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, serta adanya kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. “Sejak tanggal 12 Desember 2024, penyidik Kejati Papua Barat melakukan penahanan terhadap kedua tersangka di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sorong selama 20 hari ke depan,” ujar Abun menambahkan.
Kasus ini menjadi perhatian serius, karena tidak hanya melibatkan pejabat bank, tetapi juga pihak swasta yang seharusnya menjalankan amanah pembangunan perumahan dengan integritas. Kejati Papua Barat berkomitmen untuk menegakkan hukum secara tegas dan transparan, memastikan bahwa para pelaku korupsi menerima sanksi yang setimpal dengan perbuatannya, demi pemulihan keuangan negara dan keadilan bagi masyarakat. (Red)