Jaksa Agung Ungkap Dugaan Korupsi Aparat di Tengah Upaya Relokasi dan Reforestasi Hutan Tesso Nilo

Screenshot 2025 06 16 082201
10 / 100

Riau – Seputar Jagat News. Jaksa Agung ST Burhanuddin secara mengejutkan mengungkap adanya dugaan tindak pidana korupsi oleh aparat negara dalam kasus perambahan liar kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau. Temuan tersebut mencuat setelah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) berhasil merebut kembali sebagian areal TNTN dalam operasi yang digelar pada Selasa, 10 Juni 2025.

Dalam rapat Satgas PKH yang digelar di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (13/6/2025), Burhanuddin menyampaikan, selain temuan korupsi, aparat Satgas juga menemukan indikasi pemalsuan dokumen berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di dalam kawasan hutan tersebut.

“Serta dugaan tindak pidana korupsi oleh oknum aparat,” tegas Burhanuddin, meski belum merinci modus korupsi yang dimaksud.

Sementara itu, Wakil Komandan Satgas Garuda, Brigjen TNI Dody Triwinarto, menegaskan bahwa pihaknya saat ini sedang memproses sejumlah oknum yang terlibat dalam perambahan hutan. Ia meminta publik memberi waktu agar proses penegakan hukum berjalan adil.

“Kami sedang memproses oknum-oknum yang membuat bapak dan ibu hadir di sini,” ujarnya di hadapan ribuan warga yang berkumpul di TNTN saat kunjungan tim Satgas, Selasa lalu.

Burhanuddin membeberkan kondisi kritis kawasan TNTN. Dari luasan awal sebesar 81.793 hektare, kini hanya tersisa sekitar 12.561 hektare. Penyusutan drastis ini disebabkan perambahan liar dan pembukaan kebun kelapa sawit ilegal yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Tak hanya kehilangan vegetasi, kawasan ini juga telah dihuni ribuan warga yang membangun rumah, sekolah, tempat ibadah, hingga terhubung dengan aliran listrik dari PLN. Kondisi ini memperumit upaya relokasi dan reforestasi karena sudah menyentuh aspek sosial dan ekonomi warga.

“Permasalahan TNTN bukan hanya isu lingkungan hidup, tetapi juga mencakup permasalahan ekonomi dan sosial masyarakat,” tutur Burhanuddin.

Sebagai tindak lanjut, Satgas PKH menetapkan masa relokasi mandiri bagi warga yang mendiami TNTN selama 3 bulan, yakni dari 22 Mei hingga 22 Agustus 2025. Pengumuman ini disampaikan melalui spanduk di Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Pelalawan.

Satgas menegaskan bahwa TNTN adalah tanah negara dan segala aktivitas seperti mendirikan bangunan, berkebun, atau membakar lahan di dalamnya adalah ilegal.

Dalam pengumuman itu juga disampaikan kebijakan sementara terhadap perkebunan sawit:

  • Sawit berumur lebih dari 5 tahun boleh dipanen selama 3 bulan, tetapi tidak boleh diperluas atau dirawat.
  • Sawit berusia di bawah 5 tahun dianggap perambahan baru dan akan dimusnahkan serta diganti dengan tanaman hutan.

Masyarakat juga dilarang membuka atau memperluas kebun, dan siapa pun yang melanggar akan diproses secara hukum.

Sekretaris Satgas PKH, Sutikno, menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan reforestasi kawasan TNTN secara menyeluruh. Saat ini, hanya tersisa sekitar 12 ribu hektare hutan dari total 81 ribu hektare. Sisanya telah beralih fungsi menjadi kebun sawit ilegal yang sebagian besar dikuasai cukong dan korporasi.

“Tesso Nilo itu seharusnya jadi paru-paru dunia. Tapi malah dijarah, dijadikan perkebunan sawit,” ujar Sutikno.

Menurut informasi, para cukong menguasai lahan hingga ratusan hektare dan menjual hasil panennya ke pabrik sawit besar tanpa dikenakan pajak atau sanksi hukum.

Kondisi ini memperparah citra Indonesia di mata dunia, terutama di tengah kampanye internasional melawan deforestasi. Dari total kawasan TNTN, lebih dari 65 ribu hektare telah rusak, dan ironisnya, sejumlah perkebunan sawit tetap beroperasi meski sebelumnya sempat digugat oleh Yayasan Riau Madani.

Satgas PKH juga meminta PT PLN mencabut instalasi listrik dari kawasan TNTN. Permintaan ini disampaikan melalui surat resmi dari Wakil Komandan Satgas Garuda, Brigjen Dody Triwinarto, yang ditujukan kepada Manager PLN UP3 Pekanbaru tertanggal 2 Juni 2025.

PLN membenarkan telah menerima surat tersebut. Namun hingga kini belum melakukan eksekusi, menunggu kejelasan objek instalasi yang harus dicabut.

“Kami masih menunggu objek mana yang dimaksud oleh Satgas PKH,” ujar Eykel Ginting, Manager PLN ULP Pangkalan Kerinci.

Kedatangan Satgas PKH ke TNTN pada 10 Juni 2025 disambut ribuan warga. Mereka berharap ada kejelasan soal nasib mereka, apalagi muncul kabar bahwa sejumlah pejabat tinggi seperti Menteri Pertahanan dan Menteri Kehutanan akan hadir. Namun, harapan itu pupus karena tidak ada satu pun pejabat setingkat menteri yang hadir.

“Percuma datang dari Jakarta tapi kami tak tahu nasib kami. Kami diminta pindah, tapi ke mana?” kata Ardi, salah satu warga.

Warga sempat berdialog dengan Brigjen Dody, namun merasa kecewa karena tak ada keputusan konkret. Kehadiran Satgas ke lokasi hanya diwakili oleh unsur pelaksana seperti Jampidsus Febrie Adriansyah, Kasum TNI Letjen Richard Tampubolon, Kabareskrim Komjen Wahyu Widada, dan Deputi BPKP Agustina Arumsari.

Satgas PKH yang dibentuk melalui Perpres No. 5 Tahun 2025 adalah ujian nyata terhadap keseriusan negara dalam menyelamatkan hutan konservasi. Meski telah ada berbagai upaya sebelumnya, termasuk pembentukan Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo pada 2016 dan GNPSDA oleh KPK pada 2015, semuanya tak menghasilkan perubahan berarti.

Kini, harapan tertumpu pada Satgas PKH agar mampu membalikkan keadaan. Tantangan besar ada di depan: membersihkan kawasan TNTN dari cukong sawit, menertibkan aparat yang bermain, serta memberi solusi adil bagi warga yang terlanjur menggantungkan hidup dari hutan yang telah berubah fungsi itu. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *