Jaksa 3T: Pertaruhan Nyawa dan Pengabdian Tanpa Pamrih di Ujung Negeri

jaksa di ntt peringati hut ke 73 persaja 1749703585465 169
8 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Adhyaksa Awards 2025 menghadirkan warna baru dalam penghargaan tahunan bagi insan Adhyaksa. Salah satu kategori yang paling menyita perhatian publik tahun ini adalah “Jaksa Pengawal Daerah Tertinggal”, sebuah bentuk penghargaan bagi jaksa-jaksa tangguh yang mengabdi di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) Indonesia. Penghargaan ini bukan sekadar simbol kehormatan, tapi juga pengakuan atas kerja luar biasa dan pengorbanan tanpa pamrih yang mereka lakukan dalam senyap.

Salah satu wilayah yang masuk dalam nominasi kategori ini adalah Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur—pulau terluar yang berada di ujung selatan Indonesia. Terpencil dan sulit dijangkau, Rote hanya dapat diakses melalui jalur laut yang sangat bergantung pada cuaca.

Zet Tadung Allo, Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, menggambarkan Rote sebagai salah satu daerah penugasan paling menantang.

“Semua orang itu harus tahu bagaimana suka dukanya bertugas di daerah pulau seperti itu yang sulit diakses. Ke sana harus pakai kapal laut yang pelayarannya terbatas dan tergantung cuaca,” jelas Zet.

Cuaca buruk menjadi tantangan utama. Para jaksa di Rote seringkali harus bertahan berbulan-bulan tanpa bisa pulang, hanya karena laut tak bersahabat. Situasi ini bukan hanya mengganggu tugas, tapi juga memisahkan mereka dari keluarga dalam waktu lama.

“Mereka bisa saja berbulan-bulan tidak bisa pulang karena cuaca,” tambahnya.

Tantangan tidak berhenti di situ. Rote belum memiliki fasilitas pengadilan. Setiap sidang harus dilaksanakan di Kota Kupang, yang hanya bisa ditempuh dengan kapal laut. Perjalanan yang seharusnya menjadi rutinitas hukum, justru berubah menjadi perjalanan penuh risiko.

“Kadang-kadang mereka itu pertaruhan nyawa,” ujar Zet dengan nada serius.

Salah satu tragedi yang dikenang hingga kini adalah tenggelamnya kapal yang membawa tahanan dari Kupang ke Rote. Dalam insiden itu, seorang jaksa gugur dalam tugas.

“Ada petugas yang mengantar tahanan dari Kupang ke Rote, kapalnya tenggelam. Jaksa satu orang meninggal,” kenang Zet, menunjukkan bahwa risiko bertugas di daerah 3T bukanlah isapan jempol.

Selain medan berat, tantangan lain yang mengemuka adalah minimnya jumlah personel. Di banyak daerah 3T, hanya terdapat dua atau tiga jaksa yang bertugas. Ini menambah beban kerja yang luar biasa besar di tengah keterbatasan fasilitas.

“Di sana rata-rata pegawainya kurang,” ucapnya.

Dengan segala tantangan itu, Zet mendorong agar pemerintah memberikan insentif promosi kepada jaksa-jaksa yang telah berjuang di wilayah 3T. Menurutnya, mereka layak mendapatkan apresiasi setimpal atas pengorbanan dan dedikasi yang telah diberikan.

“Jaksa yang pernah ditempatkan di 3T itu harus ada promosinya. Dia layak mendapatkan itu karena meninggalkan segala kenyamanan yang dimiliki teman-temannya di kota,” tegasnya.

Zet menutup pernyataannya dengan menggarisbawahi pentingnya semangat pengabdian dalam setiap penugasan, di manapun para jaksa ditempatkan.

“Mereka harus cukup tangguh dan punya pengabdian yang tinggi,” tutupnya.

Adhyaksa Awards 2025 turut menghadirkan kategori baru lainnya, yakni “Jaksa Kreatif dalam Edukasi Hukum.” Kedua kategori ini menunjukkan bagaimana Kejaksaan Republik Indonesia mulai membuka ruang lebih luas untuk menilai kinerja jaksa tidak hanya dari aspek teknis, tetapi juga dari dedikasi, inovasi, dan kontribusi nyata kepada masyarakat.

Panitia membuka kesempatan bagi publik untuk ikut berpartisipasi dalam proses penilaian. Masyarakat diimbau memberikan informasi yang valid, runut, dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk mendukung proses seleksi yang transparan dan objektif.

Jaksa 3T bukan hanya simbol keadilan di pelosok negeri, tapi wajah sejati dari pengabdian tanpa pamrih. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *