JAKARTA – Seputar Jagat News. Dugaan malapraktik kembali mengguncang dunia medis Tanah Air. Seorang balita berinisial J, anak dari Co-Founder Gem Research International Laboratory Adam Harits, diduga menjadi korban kelalaian medis yang dilakukan oleh seorang dokter spesialis di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSCM) Dr. Cipto Mangunkusumo.
Kasus ini mencuat ke publik setelah Adam Harits membeberkan kronologi panjang kondisi medis anaknya yang berujung pada kebocoran usus, sepsis berat, hingga perawatan intensif di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSCM selama lebih dari 40 hari.
Kisah bermula saat Adam membawa J ke RSCM pada 28 Agustus 2024 karena anaknya mengalami kesulitan mengonsumsi MPASI, muntah, dan gumoh. Setelah berkonsultasi, J dirujuk ke dokter spesialis rehabilitasi medik, kemudian diarahkan ke dokter THT. Dari hasil THT, ditemukan indikasi cobblestone appearance pada tenggorokan J, dan rujukan diberikan kepada seorang dokter senior berinisial P, yang diketahui menyandang gelar profesor.
Pada 23 Oktober 2024, Adam dan istrinya membawa J ke dokter P. Namun, yang mengejutkan, menurut pengakuan Adam, dokter tidak melakukan pemeriksaan fisik sama sekali, hanya melihat hasil THT dan langsung menyarankan prosedur endoskopi, tanpa penjelasan rinci mengenai urgensi tindakan.
“Dokter hanya duduk di meja sambil mengetik dan menyarankan endoskopi tanpa memeriksa anak saya,” ungkap Adam.
Saat Adam mempertanyakan urgensinya dan mengusulkan alternatif terapi terlebih dahulu, dokter P justru merespons dengan nada tidak menyenangkan, menyuruh Adam untuk meminjam uang agar bisa melakukan prosedur tersebut.
Endoskopi pertama dilakukan pada 1 November 2024, hasilnya menunjukkan adanya GERD yang cukup parah. Namun, dalam beberapa minggu setelahnya, kondisi J justru memburuk, dengan muntah yang makin sering dan kehilangan berat badan. Adam kemudian kembali ke dokter rehab medik dan disarankan memasang selang nutrisi.
Namun saat kembali bertemu dokter P untuk membahas saran tersebut, Adam kembali mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Dokter menuduhnya menolak pemasangan selang karena khawatir asuransi tidak menanggung biaya, padahal menurut Adam, ia hanya mengikuti prosedur yang dianjurkan.
Pada 13 Desember 2024, endoskopi kedua dilakukan. Namun setelahnya, kondisi J semakin memburuk. Dokter P menyebut adanya penyempitan usus dan menyatakan telah melakukan dilatasi (pelebaran) usus — tindakan medis yang menurut Adam tidak pernah diinformasikan sebelumnya.
“Kami kaget, karena semua prosedur kami ikuti, tapi kondisi J malah memburuk. Bahkan tindakan dilatasi itu tidak pernah diberitahu sebelumnya,” ujarnya.
Beberapa hari pasca endoskopi kedua, J semakin sering muntah dan menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang parah. Ia kemudian dilarikan ke PICU RSCM dalam kondisi kritis. Anehnya, dokter P tidak melakukan kunjungan selama dua hari, dan baru datang setelah J berada di ruang intensif.
Setelah dilakukan serangkaian tes medis, tim dokter menduga terjadi kebocoran pada usus, yang mengharuskan dilakukan operasi darurat.
“Operasi dilakukan dan terbukti memang ada kebocoran pada usus,” ujar Adam.
Namun, kondisi J tidak kunjung stabil. Keesokan harinya, J mengalami sepsis berat, dengan indikasi gagal jantung, gagal paru, dan gagal ginjal. Tim medis pun melakukan cuci darah selama 72 jam nonstop untuk menyelamatkan nyawa J.
Selama proses pemulihan, J menjalani empat kali operasi, termasuk penutupan stoma pada April 2025. Seluruh perawatan intensif berlangsung selama kurang lebih 40 hari di RSCM. Kasus ini kini telah dilaporkan oleh keluarga korban ke Majelis Disiplin Profesi (MDP) untuk diperiksa lebih lanjut.
Juru bicara RSCM, Yogi Friando, membenarkan bahwa pasien J memang dirawat di RSCM dan laporan telah diterima oleh MDP. Ia menegaskan bahwa RSCM akan mengikuti proses hukum dan pemeriksaan etik yang tengah berjalan terhadap dokter berinisial P.
“RSCM menghormati dan akan mengikuti proses pemeriksaan terhadap dokter P yang akan dilaksanakan di MDP serta menunggu hasilnya,” kata Yogi saat dikonfirmasi.
Kasus ini menjadi sorotan penting mengenai pentingnya transparansi prosedur medis, komunikasi yang baik antara dokter dan keluarga pasien, serta perlindungan hak-hak pasien, terutama anak-anak.
Publik kini menantikan hasil investigasi MDP terhadap dokter P dan kejelasan tanggung jawab pihak rumah sakit atas dugaan malapraktik yang berujung pada trauma fisik dan psikologis mendalam bagi keluarga korban. (Red)