Bandung — Seputar Jagat News. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan bahwa PT Aqua menggunakan sumber air dari mata air pegunungan, bukan air tanah hasil pengeboran seperti yang ramai dibicarakan di media sosial. Penegasan itu disampaikan saat kunjungan keduanya ke pabrik Aqua di Subang, Jawa Barat.
Dalam video yang beredar, Dedi tampak berbincang langsung dengan sejumlah karyawan Aqua yang mempertanyakan isu yang berkembang di masyarakat. Isu tersebut menuding bahwa air baku yang digunakan Aqua berasal dari air tanah melalui pengeboran, layaknya kebutuhan rumah tangga biasa.
Menanggapi hal itu, Dedi menyatakan bahwa kesimpulan tersebut keliru dan hanya berkembang di kalangan netizen setelah menonton potongan konten kunjungan sebelumnya. Ia menegaskan tidak pernah berniat menjelekkan pihak Aqua.
“Memang saya datang ke sini ada niat nggak, untuk jelek-jelekin Aqua? Nggak ada. Yang protes kan netizen,” ucapnya.
Para karyawan pun kembali memastikan hal tersebut dengan bertanya, “Jadi, mata air clear ya?”
Dedi kemudian menjawab tegas, “Iya, mata air clear (dari pegunungan).”
Dalam video lain yang diunggah melalui akun Instagram pribadinya, Dedi menjelaskan bahwa kunjungan ke berbagai perusahaan dilakukan untuk memastikan perekonomian masyarakat di sekitar pabrik berkembang, infrastruktur membaik, dan anak-anak di wilayah tersebut dapat bersekolah dengan layak.
Terkait perdebatan istilah “air pegunungan”, pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Lambok M. Hutasoit, memberikan penjelasan ilmiah. Ia menyebut bahwa yang dimaksud dengan air pegunungan bukanlah air yang langsung muncul di permukaan gunung, melainkan air yang berasal dari sistem akuifer alami di wilayah pegunungan.
Menurut Lambok, air tersebut terbentuk dari proses hujan yang meresap ke dalam tanah, lalu mengalir dan tersimpan di lapisan bawah tanah sebelum diambil untuk kebutuhan industri air minum dalam kemasan (AMDK).
“Sumber air pegunungan itu berada dalam sistem akuifer hasil proses alami di pegunungan, bukan langsung dari mata air permukaan,” jelasnya.
Ia menambahkan, industri besar memilih sumber air dari pegunungan karena alasan keamanan dan kualitas. Tidak semua air tanah aman dikonsumsi, sebab beberapa mengandung zat berbahaya seperti Kromium VI yang bersifat racun.
“Jadi tidak sembarangan menggunakan air tanah untuk air minum. Harus dianalisis kimianya terlebih dahulu,” ujarnya.
Selain kandungan kimia, Lambok menjelaskan bahwa kualitas air juga ditentukan oleh jenis batuan yang dilalui. Lapisan batu pasir, kapur, dan gamping umumnya menjadi sumber air yang baik, sedangkan batu lumpur mudah tercemar.
“Batuan yang mengandung air bisa ditemukan di kedalaman dangkal maupun dalam. Tapi yang dangkal biasanya lebih rawan kontaminasi, baik dari toilet, selokan, maupun limbah lain,” tambahnya.
Pandangan serupa disampaikan Profesor Heru Hendrayana, ahli hidrogeologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menjelaskan bahwa air tanah dangkal memang lebih rentan terpolusi, sedangkan air dari lapisan dalam lebih higienis.
“Yang dangkal ini biasanya buruk kualitasnya karena bisa terkontaminasi septic tank, sampah, dan limbah rumah tangga. Sedangkan air tanah dalam relatif lebih higienis dan sehat,” jelasnya.
Menurut Heru, industri air minum dalam kemasan umumnya menggunakan air pegunungan dari akuifer dalam yang diteliti terlebih dahulu oleh para ahli hidrogeologi.
“Mereka meneliti asal-usul air tanahnya agar benar-benar dari pegunungan, bukan asal ambil,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa air pegunungan tidak selalu berarti diambil langsung di kaki gunung. Jarak beberapa puluh kilometer pun masih bisa tergolong bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan.
“Contohnya, Bogor banyak airnya berasal dari Gunung Salak. Di Yogyakarta dan Klaten, sumber airnya dari Gunung Merapi. Jadi, tidak harus dekat dengan gunung, yang penting berasal dari akuifer dalam,” jelas Heru.
Selain lebih aman dari polusi, air pegunungan juga memiliki kandungan mineral alami yang lebih kaya dibanding air tanah dangkal di perkotaan. Hal inilah yang menjadi nilai lebih bagi air pegunungan untuk bahan baku AMDK.
Sementara itu, Tenaga Ahli Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), Muhammad Sirod, menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada aturan khusus yang mengatur secara spesifik tentang sumber air minum untuk industri AMDK.
Namun, ia menegaskan bahwa air yang digunakan harus memenuhi standar kualitas nasional, termasuk lolos uji SNI, BPOM, dan sertifikasi halal.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) menetapkan sejumlah standar yang berlaku, di antaranya:
- SNI 6242:2015 untuk air mineral alami,
- SNI 6241:2015 untuk air demineral, dan
- SNI 7812:2013 untuk air minum embun.
“Sebenarnya beberapa air sumur dan air tanah yang terkoneksi ke gunung, itu kurang lebih kualitas dan mutunya sama. Namun, memang perlu diriset kandungannya, baik dari aspek fisika, kimia, maupun mikrobiologi,” ujar Sirod.
Dengan penjelasan dari para pakar tersebut, isu yang menyebut Aqua menggunakan air tanah bor biasa kini terjawab. Baik pemerintah daerah maupun akademisi menegaskan bahwa air yang digunakan industri AMDK, termasuk Aqua, berasal dari akuifer pegunungan alami yang telah melalui kajian ilmiah dan memenuhi standar keamanan konsumsi. (MP)





