JAKARTA – Seputar Jagat News. Gelombang keluhan datang dari sejumlah calon mahasiswa baru perguruan tinggi negeri yang merasa keberatan atas penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mereka anggap tidak sesuai dengan kondisi keuangan keluarga. Banyak dari mereka merasa kampus tidak melakukan verifikasi langsung untuk melihat kondisi riil calon mahasiswa, dan hanya mengandalkan sistem otomatis berbasis data yang mereka unggah.
Salah satu keluhan datang dari Qia, calon mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang lolos melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Qia menyampaikan kekecewaannya setelah ia ditetapkan dalam golongan VIII dengan besaran UKT Rp6,4 juta untuk Program Pendidikan Guru PAUD.
“Jujur merasa sedih karena saya sendiri udah punya pikiran kalau misalnya dapat di angka [UKT] yang besar saya bakal lepasin [kuliah],” ungkap Qia, Sabtu (14/06).
Qia menceritakan bahwa ia telah melengkapi dokumen berupa Kartu Keluarga, slip gaji orang tua, serta data tempat tinggal. Namun, sistem tetap mematok UKT tertinggi, padahal ia hidup bersama ibunya yang berpenghasilan hanya Rp1 juta per bulan. Sang ayah memang memiliki penghasilan Rp2,5 juta, namun sejak bercerai, kebutuhan rumah tangga ditanggung ibu Qia sepenuhnya.
“Kondisi kontrakan saya enggak dilihat, cuma karena saya bayar sewa, sistem menganggap saya mampu,” tambahnya, menjelaskan bahwa ia dan ibunya tinggal di kontrakan berukuran 3×3 meter.
Qia juga sempat berharap mendapatkan bantuan dari program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK), namun dinyatakan tidak lolos. Kini, keinginan untuk mundur dari dunia perkuliahan pun mulai terbersit di benaknya.
Keluhan serupa juga datang dari Nana, mahasiswa baru di salah satu PTN di Yogyakarta. Ia menyebut telah mendapatkan UKT golongan V sebesar Rp6,9 juta, jauh di atas harapan keluarganya yang menginginkan kisaran Rp2–4 juta.
“Gaji papa saya sekitar Rp5 juta–Rp6 juta, tapi biaya hidup di luar kota itu besar. Belum lagi papa juga menanggung adik saya yang masih sekolah SMP, sementara mama tidak bekerja,” ujarnya.
Nana mencoba mengajukan banding UKT namun ditolak. Ia berharap ke depan bisa memperoleh beasiswa dan akan kembali mengajukan banding semester depan.

Kritik terhadap Sistem IT Penentuan UKT
Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) yang diwakili Ananda Eka menilai sistem IT kampus tak cukup mampu membaca kondisi real calon mahasiswa. “Enggak ada survei langsung secara konkret,” ujar Eka. Ia juga menyoroti bahwa kampus kerap tidak transparan dalam menggunakan indikator penilaian.
Menurut Eka, banyak kasus mahasiswa yang sebenarnya berasal dari keluarga berpenghasilan menengah ke bawah, namun terpaksa membiayai kuliahnya sendiri akibat perceraian orang tua atau dinamika keluarga lainnya. Hal semacam ini, kata Eka, tak terjangkau oleh sistem penilaian UKT berbasis data unggahan semata.
Respons Kampus: Data Tidak Lengkap, UKT Tertinggi
Direktur Akademik UNJ, Agung Premono, membenarkan bahwa UKT tertinggi dikenakan kepada mahasiswa yang tidak mengisi data secara lengkap atau valid. Ia mencontohkan, pengisian penghasilan dengan angka nol menjadi pemicu utama sistem menetapkan nominal tertinggi.
“Penghasilan nol, tapi dia bisa ngontrak. Artinya sebetulnya kan tidak nol kan?” ujar Agung.
Meski demikian, Agung menegaskan kampus tetap membuka ruang klarifikasi dan banding. “Bisa mengonfirmasi langsung ke kampus, atau mengajukan permohonan koreksi data,” katanya.
Agung memastikan bahwa tidak ada mahasiswa yang akan gagal berkuliah hanya karena masalah biaya. “Semua yang sudah lulus seleksi, pasti bisa kuliah,” ucapnya.

Pemerintah Masih Bungkam
Saat dimintai tanggapan soal keluhan UKT ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Togar Simatupang, menyatakan belum dapat memberikan pernyataan. “Saya masih konsen dengan kegiatan lain,” ujarnya singkat.
Namun, saat polemik UKT sempat memanas pada tahun 2024, kementerian telah mengeluarkan imbauan agar kampus mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa atau pihak lain yang membiayai pendidikan mereka.
Kisah Qia dan Nana bukanlah kasus tunggal. Sejak pengumuman UKT pada pertengahan Juni 2025, media sosial ramai dengan keluhan mahasiswa yang merasa penetapan UKT tidak adil. Beberapa mengaku memiliki orang tua yang sedang sakit parah, seperti kanker, namun tetap dikenai UKT tinggi.
Situasi ini menyoroti pentingnya reformasi dalam sistem verifikasi UKT, agar kampus tak sekadar mengandalkan data digital, melainkan juga melakukan pendekatan yang lebih humanis dan menyeluruh. Sebab bagi banyak anak muda Indonesia, UKT bukan sekadar angka, tapi penentu antara melanjutkan mimpi atau menghentikannya. (Aky)