Bandung – Seputar Jagat News. Selasa, 10 Desember 2024. Kasus sengketa tanah yang melibatkan ahli waris Rd. Moch. Nurhadi bin Adiwangsa dengan sejumlah pihak terkait semakin memanas. Gugatan perdata dengan nomor perkara 578/Pdt.G/2023/PN.Bdg yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung, tengah mengungkap praktik dugaan pemalsuan sertifikat tanah yang melibatkan oknum dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kelurahan Cipamokolan, serta pihak lain yang diduga berkolaborasi dalam menguasai lahan sengketa yang sudah dikuasai keluarga Nurhadi sejak 1953.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh *Hakim Ketua Bayu Seno Maharto, S.H., M.H., bersama anggota **Aloysius Rianto, S.H., M.H., dan *Eti Kurniati, S.H., terungkap serangkaian fakta yang mengejutkan, termasuk adanya klaim pemalsuan dokumen dan sertifikat tanah yang diterbitkan dengan cara yang meragukan.
Tanah yang Dikuasai Sejak 1953 Tiba-tiba Dikuasai Pihak Lain
Kasus ini bermula pada tanah yang sebelumnya dimiliki oleh *Nurhadi bin Adiwangsa, yang memiliki sertifikat tanah *Kohir C.547 atas *Persil 37 S IV, seluas 10.350 m² yang dibeli pada 1953. Tanah ini dikuasai secara sah oleh ahli waris hingga 2023, namun pada Februari 2023, tanah tersebut mendadak dikuasai oleh pihak yang mengaku sebagai pengembang bernama **Dani, yang menunjukkan dua sertifikat tanah atas nama **Ir. Djohar Hayat: *SHM No. 574 (1120 m²) dan SHM No. 575 (4800 m²).
Agus Suhendar, yang mengaku sebagai penerus pengelolaan tanah tersebut sejak 1990, mengatakan kepada Majelis Hakim bahwa dirinya diusir secara paksa oleh Dani bersama sekelompok orang yang mengaku sebagai pengembang. Agus mengungkapkan, “Saya diusir dengan kekuatan preman, mereka membawa orang-orang untuk menakut-nakuti saya, dan saya terpaksa keluar dari tanah itu untuk menghindari bentrok,” ujarnya dalam persidangan.
Saksi Kunci Mengungkap Kecurangan dalam Pembuatan Sertifikat
Salah satu saksi, *Noneng Widaningsih, yang tinggal di atas tanah sengketa sejak 1993, juga memberikan keterangan serupa. Ia mengungkapkan bahwa ia bersama suaminya tinggal di tanah itu selama hampir 30 tahun tanpa ada masalah. Namun, pada 2023, mereka dipaksa keluar oleh pihak yang mengklaim sebagai pengembang, dengan alasan kepemilikan sertifikat yang tiba-tiba terbit atas nama *Ir. Djohar Hayat.
Lebih jauh, *Rodiah, ahli waris lainnya, mengungkapkan keanehan dalam proses penerbitan sertifikat *SHM No. 574 dan SHM No. 575 atas nama *Ir. Djohar Hayat. Sertifikat tersebut, yang diterbitkan pada 21 April 1986, berawal dari *Kohir 1940 dan *Kohir 3157, namun ternyata ada ketidaksesuaian dalam batas tanah yang tercatat di dokumen tersebut. Rodiah mengungkapkan bahwa tanah yang dimiliki oleh keluarga mereka tiba-tiba berkurang luasnya, dan beberapa bagian tanahnya bahkan sudah dijual dan dibangun pom bensin oleh pihak lain, yang kini dikendalikan oleh *Indra (Johan Indrachman).
Terkait Kejanggalan Penunjuk Batas Sertifikat
Kejanggalan lain terungkap saat *Tarkim, salah satu penunjuk batas dalam pembuatan sertifikat, yang disebutkan dalam dokumen sebagai *OMAS dan *Tarkim, dengan tegas membantah pernah memberikan izin atau keterangan tentang batas tanah tersebut. *Tarkim yang kini berusia 91 tahun, mengatakan kepada tim media, “Saya tidak tahu menahu tentang sertifikat tersebut, dan saya tidak pernah menjadi penunjuk batas pada saat itu. Nama saya dan Omas dicantumkan tanpa persetujuan saya,” ujarnya. Bahkan, anak dari Tarkim menambahkan bahwa *Omas, saudara iparnya, pernah mengeluh bahwa namanya dibawa-bawa oleh *Rahmat Suhara, mantan Sekretaris Desa Cipamokolan, dalam urusan tanah ini tanpa sepengetahuannya.
Keterlibatan Oknum Kelurahan dan BPN
Menurut *Rodiah, fakta-fakta yang muncul menunjukkan adanya kolaborasi antara beberapa pihak untuk mengalihkan hak kepemilikan tanah tersebut. Surat-surat keterangan yang dikeluarkan oleh *Lurah Cipamokolan pada 2022 dan Rahmat Suhara pada 2005, yang menyebutkan bahwa tanah tersebut sudah “tercoret” dan dikuasai oleh pihak lain, semakin memperkuat dugaan adanya manipulasi dokumen yang melibatkan oknum-oknum terkait.
*H. Rudi, Pembina **Paguyuban Maung Sagara, yang turut memberikan tanggapan terkait kasus ini, mengungkapkan bahwa dugaan pemalsuan sertifikat tanah ini melibatkan oknum-oknum dari *BPN Kota Bandung dan Kelurahan Cipamokolan. “Keabsahan sertifikat yang terbit dengan penunjuk batas yang tidak pernah menyetujui itu sangat meragukan. Ini bisa jadi merupakan bagian dari permufakatan jahat yang mengarah pada pengambilalihan tanah secara ilegal,” tegasnya.
Tuntutan terhadap Menteri BPN
Lebih lanjut, H. Rudi yang juga mewakili masyarakat, menuntut agar Menteri BPN/ATR (*Nusron Wahid) segera membersihkan lembaganya dari oknum-oknum yang terlibat dalam praktik mafia tanah. “Kami menuntut agar segera dibentuk *Satgas Mafia Tanah untuk menuntaskan permasalahan tanah yang kerap merugikan rakyat kecil seperti ini,” tambahnya.
Sementara itu, Rodiah dan keluarga masih berjuang untuk mendapatkan keadilan dan hak atas tanah yang mereka miliki selama lebih dari 70 tahun. Mereka berharap agar persidangan ini membuka tabir kecurangan yang terjadi selama bertahun-tahun, dan agar pelaku-pelaku yang terlibat dalam skandal ini dapat dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pentingnya Penegakan Hukum yang Tegas
Kasus ini menjadi sorotan penting bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan sengketa tanah yang melibatkan masyarakat kecil dan pengusaha besar. Keberanian keluarga Nurhadi untuk menggugat pihak-pihak yang terlibat menunjukkan pentingnya transparansi dan keadilan dalam sistem pertanahan, serta perlunya langkah-langkah tegas untuk mengatasi masalah mafia tanah yang merugikan rakyat. (Dodi)