Jamdatun: Peran In-House Counsel Kini Kian Strategis dalam Tata Kelola dan Kepatuhan Korporasi

Screenshot 2025 10 04 191942
10 / 100

Bali — Seputar Jagat News. Perubahan lanskap hukum pidana korporasi di Indonesia menuntut penasihat hukum internal (in-house counsel) untuk bertransformasi. Tak lagi hanya berperan di balik meja sebagai penelaah kontrak atau pelaksana litigasi, kini mereka diharapkan tampil sebagai mitra strategis dalam membangun tata kelola perusahaan yang berintegritas.

Pesan tersebut disampaikan langsung oleh Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Prof. (H.C) R. Narendra Jatna, dalam keynote speech bertajuk “Strengthening Business Integrity Through Corporate Criminal Law Reformation”, pada ajang Indonesia In-House Counsel Summit & Awards (IHCSA) 2025, yang digelar di The Westin Nusa Dua, Bali, Jumat (3/10/2025).

Dalam forum yang kembali digelar oleh Hukumonline untuk ketiga kalinya ini, Narendra menegaskan bahwa posisi in-house counsel harus dioptimalkan bukan hanya sebagai pelengkap hukum, tetapi sebagai bagian dari pengambilan keputusan strategis perusahaan.

“In-house counsel tidak hanya sekadar menelaah kontrak atau menangani perkara litigasi, tetapi juga harus dilibatkan dalam proses strategis perusahaan, khususnya terkait kepatuhan, mitigasi risiko, dan tata kelola korporasi,” ujar Narendra di hadapan para profesional hukum perusahaan dari seluruh Indonesia.

Narendra menekankan bahwa kepatuhan (compliance) kini telah berkembang menjadi lebih dari sekadar alat pengelolaan risiko. Dalam konteks korporasi modern, compliance adalah instrumen strategis untuk menjaga kepercayaan publik sekaligus melindungi reputasi bisnis di tengah dinamika hukum yang semakin kompleks.

Ia menjelaskan bahwa peran compliance berjalan dalam dua aspek utama: preventif dan reaktif.

  • Secara preventif, kepatuhan diarahkan untuk mencegah pelanggaran hukum, konflik kepentingan, maupun penipuan (fraud). Langkah-langkah yang dilakukan antara lain melalui pelatihan kode etik, peninjauan ulang kontrak, serta pemantauan transaksi keuangan dan operasional.
  • Secara reaktif, kepatuhan berfungsi sebagai sistem respons cepat saat terjadi pelanggaran. Di sinilah pentingnya mekanisme seperti investigasi internal, remediasi, hingga pelaporan kepada regulator.

Narendra juga menyoroti keterkaitan antara peran compliance dan pengaturan baru pidana korporasi dalam KUHP terbaru.

Dalam paparan utamanya, Narendra menggarisbawahi substansi penting dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. UU ini menciptakan paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, di mana korporasi secara eksplisit diakui sebagai subjek hukum pidana.

Tidak hanya korporasi sebagai entitas yang dapat dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga individu-individu kunci di balik operasional perusahaan, seperti pemberi perintah, pemilik kendali, atau pemilik manfaat yang mungkin tidak berada dalam struktur formal perusahaan, namun memiliki pengaruh nyata.

“Pengaturan ini memperluas cakupan pertanggungjawaban pidana. Hukum pidana kita kini memberi pesan yang jelas bahwa jika korporasi menikmati keuntungan dari sebuah kejahatan, maka korporasi harus ikut menanggung akibat hukumnya,” tegas Narendra.

Ia menjelaskan, KUHP baru memungkinkan penerapan pidana pokok berupa denda, serta pidana tambahan yang jika tidak dijalankan oleh korporasi, maka kekayaan atau pendapatannya dapat disita dan dilelang oleh Jaksa.

Namun demikian, Narendra tak menutup mata bahwa proses pembuktian kesalahan korporasi bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan pendekatan yang lebih mendalam untuk menelusuri akar persoalan.

“Kita tidak cukup hanya mencari siapa yang menekan tombol atau menandatangani dokumen. Kita harus berani menelusuri budaya organisasi, kebijakan manajemen, bahkan kelalaian dalam sistem pengawasan internal,” ujarnya.

Dalam konteks global, Narendra juga mengingatkan bahwa penasihat hukum korporasi harus memiliki pandangan luas, termasuk memahami dan merujuk pada ketentuan internasional seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC). Meskipun tidak seluruhnya wajib diadopsi, konvensi tersebut menjadi acuan penting dalam membentuk budaya perusahaan yang bersih dan profesional.

Untuk itu, ia menyerukan tiga langkah strategis dalam menyambut reformasi hukum ini:

  • Memperkuat regulasi pidana yang tegas dan efektif.
  • Menjadikan kepatuhan korporasi sebagai bentuk investasi jangka panjang.
  • Menegakkan budaya profesional yang bertanggung jawab di seluruh lini perusahaan.

Tak hanya di level internal, Narendra menekankan pentingnya membangun kolaborasi lintas sektor antara regulator, penegak hukum, asosiasi profesi hukum, dan para pelaku usaha.

“Untuk mewujudkannya, diperlukan aksi nyata, yaitu memperkuat kebijakan internal, berinvestasi dalam pelatihan SDM, dan membangun kerja sama lintas sektor. Mari jadikan forum ini sebagai awal menciptakan ekosistem bisnis Indonesia yang bersih dan berdaya saing global,” pungkasnya. (MP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *