3 Perbuatan Tom Lembong yang Dinilai Melawan Hukum, Meski Sudah Dapat Abolisi Presiden

Screenshot 2025 11 01 100439
10 / 100

JAKARTA – Seputar Jagat News. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menyebut mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, terbukti melakukan sejumlah perbuatan melawan hukum dalam kasus korupsi impor gula kristal mentah di Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Meskipun Tom telah menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, hakim menegaskan bahwa tindakan pidana yang dilakukannya tetap ada secara hukum — hanya saja proses penegakannya dihentikan melalui hak prerogatif presiden.

Dalam sidang pembacaan putusan terhadap sembilan pengusaha swasta, Rabu (29/10/2025), majelis hakim memaparkan tiga perbuatan melawan hukum yang diyakini dilakukan oleh Tom Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan periode 2015–2016.

  1. Menerbitkan Persetujuan Impor untuk Perusahaan Swasta

Majelis hakim mengungkapkan bahwa Tom Lembong secara melawan hukum menerbitkan izin impor gula kristal mentah (GKM) untuk delapan perusahaan swasta.

Hakim anggota Alfis Setyawan menjelaskan, kebijakan tersebut bukan keputusan administratif yang berdiri sendiri, melainkan hasil rekayasa kebijakan yang dilakukan bersama-sama dengan Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Charles Sitorus, serta sejumlah pengusaha dan pemilik pabrik gula rafinasi.

“Penerbitan izin impor ini merupakan hasil pertemuan dan perencanaan yang dilakukan pada Oktober 2015 hingga awal Januari 2016,” ujar Alfis dalam sidang.

Rapat-rapat tersebut menghasilkan keputusan bahwa Kemendag akan membuka impor sebanyak 200.000 ton gula untuk delapan perusahaan swasta.
Namun, hakim menilai tindakan ini bertentangan dengan rekomendasi Kementerian Perindustrian dan Permendag Nomor 117 Tahun 2015, yang membatasi jenis gula yang boleh diimpor.

  1. Mengimpor Jenis Gula yang Salah dan Mengabaikan Aturan BUMN

Dalam pertimbangannya, hakim menyebut Tom Lembong juga melakukan kesalahan mendasar dengan menugaskan PT PPI mengimpor gula kristal mentah, padahal kebutuhan saat itu adalah gula kristal putih untuk konsumsi masyarakat.

Berdasarkan data dalam Rapat Koordinasi Pemerintah RI pada 28 Desember 2015, stok gula kristal putih hanya 840.611 ton, sedangkan kebutuhan nasional mencapai 220.000 ton per bulan. Artinya, stok gula hanya cukup hingga Maret 2016, sementara produksi baru akan tersedia sekitar Mei–Juli 2016.

Dalam kondisi tersebut, seharusnya Tom menugaskan BUMN untuk mengimpor gula kristal putih demi menjaga stabilitas harga dan pasokan di pasar. Hal ini diatur dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Barang Kebutuhan Pokok.

Namun kenyataannya, Tom justru memberi izin kepada perusahaan swasta untuk ikut mengimpor gula kristal mentah — tindakan yang dinilai bertentangan dengan hukum.

“Barang kebutuhan pokok seperti gula hanya boleh diimpor oleh BUMN yang ditugaskan pemerintah, bukan swasta,” tegas hakim Alfis.

  1. Menunjuk Koperasi Polri sebagai Distributor Gula

Perbuatan melawan hukum berikutnya adalah ketika Tom Lembong menunjuk Induk Koperasi Polri (Inkoppol) untuk mendistribusikan gula hasil impor.

Pada 22 April 2016, Ketua Inkoppol Yudi Sushariyanto mengajukan permohonan agar koperasinya dilibatkan dalam operasi pasar dan distribusi gula. Permohonan ini kemudian disetujui langsung oleh Tom Lembong.

Majelis hakim menilai tindakan tersebut menyalahi Pasal 27 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, karena penugasan distribusi barang kebutuhan pokok hanya boleh diberikan kepada BUMN, bukan koperasi.

“Norma tersebut tidak memberikan ruang imperatif bagi pemberian penugasan kepada koperasi, sehingga penugasan kepada Inkoppol merupakan perbuatan melawan hukum,” tegas Alfis.

Dari penugasan ini, Inkoppol memperoleh keuntungan sekitar Rp 22,09 miliar. Meskipun pihak Inkoppol mengklaim dana itu digunakan untuk biaya operasional distribusi, majelis hakim tidak sepenuhnya yakin atas keterangan tersebut.

Hakim menilai penerimaan uang tersebut sebagai keuntungan ekonomi yang diperoleh melalui perbuatan melawan hukum, sekaligus memenuhi unsur memperkaya pihak lain atau korporasi.

Meski dinyatakan terbukti melanggar hukum, Tom Lembong tidak dapat dijatuhi hukuman pidana karena telah menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

Hakim Purwanto S. Abdullah menegaskan, abolisi hanya menghentikan proses hukum dan akibat hukumnya, tetapi tidak menghapus tindak pidana yang mendasarinya.

“Perbuatan pidana yang menjadi dasar pemberian abolisi tetap ada secara hukum, hanya saja proses penegakannya dihentikan oleh presiden,” jelas Purwanto.

Hakim juga menekankan bahwa abolisi tersebut hanya berlaku untuk Tom Lembong, tidak untuk pihak lain yang terlibat dalam kasus ini.

Berbeda dengan Tom, sembilan pengusaha swasta yang turut serta dalam praktik impor gula ilegal tersebut divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun serta denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan.

Mereka adalah:

  • Hansen Setiawan (PT Sentra Usahatama Jaya)
  • Indra Suryaningrat (PT Medan Sugar Industry)
  • Wisnu Hendraningrat (PT Andalan Furnindo)
  • Ali Sanjaya (PT Kebun Tebu Mas)
  • Tony Wijaya N.G. (PT Angels Products)
  • Eka Sapanca (PT Permata Dunia Sukses Utama)
  • Hendrogianto Antonio Tiwon (PT Duta Sugar International)
  • Hans Falita Hutama (PT Berkah Manis Makmur)
  • Then Surianto Eka Prasetyo (PT Makassar Tene).

Selain pidana penjara, para terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti dengan total ratusan miliar rupiah. Sebelum vonis dibacakan, seluruh pengusaha telah menitipkan uang pengganti ke Kejaksaan Agung, yang kini disita sebagai pelunasan kewajiban mereka.

Untuk saat ini, sembilan pengusaha tersebut masih menyatakan pikir-pikir sebelum menentukan langkah hukum selanjutnya. (MP)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *