SUKABUMI — Seputar Jagat News, Selasa, 7 Oktober 2025. Keberadaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat kembali menjadi sorotan publik, kali ini terkait kelayakan dan higienitas dapur-dapur penyedia makanan. Bertempat di SPPG Rengganis, Kecamatan Kadudampit, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi mengungkap fakta mengejutkan: seluruh dapur MBG yang telah beroperasi di wilayah tersebut belum mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Hal ini disampaikan langsung oleh dr. Solitaire Ram Mozes, Kepala Bidang Pengawasan Perbekalan Kesehatan dan Makanan Minuman (PPMM) Dinkes Kabupaten Sukabumi, mewakili Kepala Dinas Kesehatan.
“Berdasarkan hasil rapat koordinasi di Pendopo, hingga awal Oktober 2025, jumlah dapur SPPG yang sudah beroperasi mencapai 191 unit, sementara 8 dapur lainnya baru akan diluncurkan. Dari total kuota 289 dapur, belum ada satu pun yang sudah memiliki SLHS. Semuanya masih dalam proses,” ungkap dr. Solitaire.
SLHS merupakan dokumen resmi dari instansi kesehatan yang menyatakan bahwa tempat pengolahan makanan telah memenuhi standar sanitasi dan keamanan pangan sesuai ketentuan Kementerian Kesehatan. Sertifikat ini wajib dimiliki oleh seluruh penyedia jasa boga, termasuk dapur-dapur pelaksana MBG.
Untuk mendapatkan SLHS, setiap dapur harus memenuhi lima komponen utama, yakni:
- Surat Keterangan dari SPPG
- Denah (layout) dapur
- Hasil uji laboratorium
- Inspeksi kesehatan lingkungan
- Sertifikat Penjamah Keamanan Pangan (PKP)
“Kelima komponen tersebut wajib dipenuhi. Tanpa kelengkapan dokumen tersebut, SLHS tidak bisa diterbitkan. Semuanya berkaitan langsung dengan standar kelayakan pangan dan sanitasi,” tegas dr. Solitaire.
Tak hanya dapur, para penjamah makanan – baik pengolah bahan mentah maupun pengantar makanan – juga diwajibkan memiliki Sertifikat Penjamah Keamanan Pangan (PKP). Proses sertifikasi dilakukan secara digital melalui ujian daring, dengan nilai kelulusan minimal 70 poin. Jika lulus, sertifikat akan diterbitkan secara otomatis.
PKP ini juga menjadi syarat mutlak sebelum pengajuan SLHS dapat dilanjutkan.
Terkait keberlanjutan operasional dapur MBG yang belum mengantongi SLHS, dr. Solitaire menyebut keputusan tersebut berada di tangan Badan Gizi Nasional (BGN).
“Kami tidak serta-merta menghentikan operasional dapur selama mereka masih berkomitmen melakukan perbaikan dan memenuhi tahapan yang telah ditentukan,” jelasnya.
Meski begitu, ia menekankan bahwa penerbitan SLHS bukan akhir dari proses pengawasan. Dinas Kesehatan tetap akan melakukan pemantauan rutin setiap enam bulan, termasuk uji laboratorium ulang dan inspeksi sanitasi. SLHS sendiri memiliki masa berlaku enam bulan dan wajib diperbarui secara berkala.
“Pengawasan lapangan terus kami lakukan agar keamanan pangan, khususnya bagi anak-anak penerima program MBG, tetap terjamin,” tambahnya.
Pantauan awak media menunjukkan, kondisi ini mulai memicu kekhawatiran dari kalangan orang tua siswa. Beberapa keluhan terkait kualitas makanan yang disalurkan muncul dari sejumlah kecamatan. Meski belum ditemukan kasus fatal, ketidaksesuaian dapur dengan standar SLHS menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana jika situasi ini berdampak negatif bagi kesehatan anak-anak?
Di tengah polemik ini, Pemkab Sukabumi berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, program MBG bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah. Namun di sisi lain, standar mutu dari pemerintah pusat tidak bisa diabaikan, apalagi menyangkut keselamatan konsumen makanan – dalam hal ini anak-anak. (MP)